Suara.com - Banyaknya jumlah pasukan TNI yang ditempatkan di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua juga dianggap mempengaruhi tingginya kekerasan yang terjadi di daerah tersebut. Bahkan, warga setempat pun disebut memilih angkat kaki dari daerahnya dan menetap di hutan.
Aktivitas kontak senjata antara TNI dengan separatis bersenjata tidak luput melibatkan masyarakat sipil sebagai korban. Catatan kasus terakhir, Pendeta Yeremia Zanambani juga ditembak oleh TNI pada 19 September 2020.
Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation, Haris Azhar mengatakan sesaat setelah Pendeta Yeremia dimakamkan pada 20 September 2020, masyarakat setempat melarikan diri ke hutan maupun daerah lain.
"Sekitar pukul 11 siang pada 20 September 2020, masyarakat berbondong-bondong keluar ke hutan-hutan, ke sejumlah daerah lain daerah kabupaten tetangga," kata Haris dalam paparannya secara virtual, Kamis (29/10/2020).
Baca Juga: Haris Azhar: TNI Duduki SD dan SMP di Hitadipa, Guru dan Pelajar Ketakutan
Haris mengungkap hingga saat ini belum ada pendataan terhadap masyarakat yang mengungsi ke luar distrik. Dengan begitu mereka belum mendapatkan bantuan dan jaminan ekonomi, keamanan dan kepastian guna bisa kembali ke kampung-kampung mereka.
Keterangan itu diperoleh dari hasil investigasi Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya. Tim tersebut terdiri dari sejumlah tokoh agama, akademisi, dan aktivis kemanusiaan di Papua. Sebenarnya tim itu dibentuk untuk merespons situasi kekerasan yang terjadi pada Pendeta Yeremia Zanambani.
Atas dasar itu, Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya merangkum segala harapan yang disampaikan oleh masyarakat distrik Hitadipa maupun keluarga Pendeta Yeremia. Masyarakat Distrik Hitadipa berhadap mereka bisa kembali ke kampung halamannya untuk melanjutkan hidupnya.
Pun dengan keluarga Pendeta Yeremia yang berharap bisa kembali untuk dapat melangsungkan ibadah duka. Selain itu, mereka juga berharap agar TNI, organik maupun non organik tidak lagi berada di Hitadipa.
"Selain karena mereka trauma, masyarakat berkeyakinan bahwa Hitadipa adalah tanah suci misa Gereja yang tidak boleh untuk praktik kekerasan," ungkapnya.
Baca Juga: 2 Warga Papua Hilang usai Dicokok TNI Lewat Dalih Operasi Cegah Corona
"Bahwa pihak keluarga korban, juga menyampaikan bahwa mereka menolak dilakukan otopsi semata-mata dengan dua alasan, bahwa bukti dan kesaksian sudah banyak diberikan untuk menghukum pelaku kasus ini, demikian juga bahwa membuka kembali kuburan bertentangan dengan nilai adat di Papua, bisa berdampak tidak baik bagi keluarga."