Suara.com - Tim Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya menguak bertambahnya jumlah pasukan TNI yang ditempatkan di distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua. Semakin banyak anggota TNI, semakin meningkat pula kekerasan yang dialami warga setempat.
Tim tersebut terdiri dari sejumlah tokoh agama, akademisi, dan aktivis kemanusiaan di Papua. Sebenarnya tim itu dibentuk untuk merespons kasus pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020, di Hitadipa, Intan Jaya.
Pendiri Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation, Haris Azhar mengungkapkan Koramil pertama kali eksis di Hitadipa sekitar Oktober 2019, pasca adanya penembakan terhadap tiga orang tukang ojek.
"Ketiganya adalah warga non Papua, bukan pula warga Hitadipa melainkan warga Sugapa," kata Haris saat menjelaskan secara virtual, Kamis (29/10/2020).
Baca Juga: 2 Warga Papua Hilang usai Dicokok TNI Lewat Dalih Operasi Cegah Corona
Setelah kejadian itu lah kemudian pihak TNI mulai memeprsiapkan diri untuk bermukim di Hitadipa termasuk dalam mencari lokasi untuk markas mereka. Masyarakat Hitadipa pernah melakukan musyawarah adat untuk menentukan di mana lokasi tanah guna diberikan kepada pihak TNI.
Lokasi yang diberikan itu berada di atas bukti, namanya Umbuapa. Akan tetapi, tawaran itu tidak dilanjutkan oleh pihak TNI maupun Koramil.
Seiring berjalannya waktu, anggota TNI justru menduduki Sekolah Dasar YPPGI dan SMP Satu Atap di Hitadipa pada Desember 2020 atau bertepatan ketika banyak masyarakat setempat yang ke luar dari distrik itu. Sekolah itu lantas dijadikan markas Koramil di Hitadipa sampai sekarang.
"Anggota TNI pada Koramil tersebut, diperkirakan, sebanyak 75 orang. Pasca peristiwa 17 September 2020, anggota TNI di Koramil bertambah, sebanyak 30 orang," ujarnya.
Penambahan anggota TNI juga dilakukan di Kabupaten Intan Jaya setelah adanya peristiwa penembakan pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020. Pasukan organik maupun non organik itu terdiri dari 433 Brawijaya, satu regu Kopassus, dan Pasukan 753 Infantri.
Baca Juga: Waspada Gowes di Jakarta! Pria Bertato hingga Tentara Jadi Sasaran Begal
Seiring bertambahnya pasukan, fasilitas pemerintah daerah juga tidak luput digunakan mereka sebagai markas seperti kantor Dinas Lingkungan Hidup, ESDM dan KPUD.
Rentetan Kekerasan
Selama satu tahun terakhir, pihaknya mencatat rentetan peristiwa yang terjadi di Distrik Hitadipa, baik berupa kontak senjata antara TNI-Polri dengan pasukan separatis bersenjata, kekerasan terhadap warga sipil hingga perampasan ruang hidup masyarakat setempat.
"Dimulai dari peristiwa penembakan terhadap tiga tukang ojek pada 2019. Pada tanggal 17 Desember 2019, terjadi lagi penembakan terhadap dua anggota TNI AD oleh TPNPB," ucapnya.
Haris menuturkan kalau kontak senjata antara kedua pihak semakin meningkat pasca insiden dan berdampak langsung kepada warga setempat. Adapun beberapa lokasi baku tembak yang terjadi pada bulan ini yakni Kampung Kulapa (Distrik Hitadipa), Kampung Ndugusiga (Distrik Sugapa), Kampung Bulapa (Distrik Sugapa) dan Kampung Ugimba (Distrik Ugimba).
"Berbagai peristiwa ini tidaklah terlepas dari rentetan pen-drop-ingan pasukan selama bulan Desember di beberapa kabupaten, termasuk Intan Jaya. Aparat keamanan juga menduduki Sekolah SD YPPGI dan SMP Satu Atap di Hitadipa yang mengakibatkan ketakutan dari guru dan anak sekolah," ungkapnya.
Memasuki 2020, kekerasan pun semakin meningkat. Alex Kobogau, seorang warga sipil meninggal karena tembakan TNI pada 26 Januari 2020. Menurut keterangan aparat, Alex ialah kombatan kelompok separatis bersenjata.
"Akan tetapi warga menyatakan bahwa Alex adalah warga sipil," sebutnya.
Di hari yang sama, seorang anak, Jackson Sondegau (8) tertembak di perut dan Yopi Sani Yegeseni (14) mendapatkan penganiyaan saat ditahan aparat.
Kekerasan terus berlanjut saat Kayus Sani (51), kepala suku Yoparu dan Melki Tipagau (11), siswa kelas VI SD YPPK Bilogai, Sugapa meninggal dunia lantaran tertembak oleh TNI pada 20 Februari 2020.
Semetara itu Martina Sani (12) mesti menjalani perawatan karena luka tembak pada waktu yang sama.
"Juga bahwa selama bulan Februari, ribuan warga mengungsi dari tempat tinggalnya dan tidak dapat menjalankan aktifitas secara normal," ungkapnya.
Yunus Sani, warga setempat juga dibunuh oleh separatis bersenjata karena dugaan sebagai mata-mata.
Haris mengatakan kalau rentetan peristiwa tersebut memperlihatkan adanya eskalasi kekerasan yang tidak hanya menimbulkan korban dari aparat dan kombatan. Tetapi lebih banyak berasal dafi masyarakat termasuk anak-anak.
Pihaknya mencatat tipologi kekerasan yang dialami masyarakat sipil selama kurun waktu Oktober 2019 hingga September 2020 antara lain intimidasi, ancaman, terror mental dan fisik, pemaksaan, penyisiran, penganiayaan, penghilangan paksa hingga pembunuhan.
"Trauma dan ketidakberdayaan berlapis atas kekerasan dan perampasan hak hidup telah menghasilkan penderitaan berkepanjangan masyarakat."