Perkara Taiwan dan Laut China Selatan Jadi Tantangan Presiden AS Berikutnya

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 28 Oktober 2020 | 15:47 WIB
Perkara Taiwan dan Laut China Selatan Jadi Tantangan Presiden AS Berikutnya
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Apakah China bersiap menginvasi Taiwan? Pertanyaan itu tengah didiskusikan dengan berapi-api dalam banyak forum di China. Hal itu pula yang seharusnya menjadi perhatian utama presiden Amerika Serikat mendatang di bidang geopolitik.

Wacana ini bermula ketika Presiden China Xi Jinping mengunjungi pangkalan korps marinir Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di Provinsi Guangdong, pada 13 Oktober lalu. Saat berkunjung, Xi berkata kepada para personel marinir agar "bersiap untuk perang."

Pernyataan Xi tersebut ditulis sejumlah surat kabar dengan tajuk utama yang mengindikasikan invasi akan terjadi dalam waktu dekat.

Invasi hampir bisa dipastikan tidak bakal terjadi. Namun, ada cukup alasan mendasar mengapa para pakar China mendiskusikan masa depan Taiwan.

Baca Juga: Kunjungan PM Jepang ke Indonesia: China Anggap Sebagai Ancaman

China dan Amerika Serikat sudah sejak lama berhadapan satu sama lain terkait Taiwan. Beijing berkeras pulau berpenduduk 23 juta jiwa itu adalah teritori milik mereka "yang tak boleh dilanggar."

Di sisi lain, Washington DC mengatakan ketetapan apapun mengenai pemisahan Taiwan dan China harus dilakukan secara damai.

Selama berpuluh tahun, kebuntuan itu terus bertahan. Namun, sekarang situasi tersebut amat mungkin berubah.

Peninggalan Xi Jinping

Ada beberapa alasan mengapa status quo tampak tidak bisa langgeng. Pertama, adalah Xi Jinping.

"Xi Jinping ingin Taiwan kembali," kata Professor Steve Tsang, direktur lembaga China Institute di School of Oriental and African Studies, London.

Baca Juga: Luncurkan Seragam Netral Gender, Siswa Laki-laki di Taiwan Boleh Pakai Rok

"Dan Xi Jinping ingin Taiwan kembali sebelum dia menyerahkan kekuasaan kepada siapapun [pemimpin] yang muncul nanti," tambahnya.

Oriana Skylar Mastro, analis militer China di Universitas Stanford, mengatakan dirinya tersentak ketika Xi Jinping mendorong penghapusan batas masa jabatan presiden pada 2018 sehingga Xi praktis bisa menjadi presiden seumur hidup.

"Mendadak semua yang dia katakan mengenai Taiwan mempunyai makna berbeda. Lini masa saat dia mengatakan dirinya ingin isu ini diselesaikan kini terikat pada legitimasinya sebagai pemimpin dan masa jabatannya sebagai pemimpin," papar Mastro.

Prof Tsang mengatakan Xi Jinping memandang dirinya sebagai sosok bersejarah yang hebat, dengan misi menyelesaikan segala sesuatu yang tidak bisa dirampungkan para pemimpin China sebelumnya, termasuk Mao Zedong.

"Deng Xiaoping tidak bisa mendapatkan Taiwan," ujarnya. "Bahkan Mao tidak bisa mendapatkan Taiwan. Dan jika Xi Jinping mendapat Taiwan, [dia] tidak hanya lebih hebat dari Deng Xiaoping, tapi juga Mao Zedong."

Xi Jinping telah menyatakan di hadapan publik bahwa reunifikasi dengan Taiwan adalah "persyaratan tak terhindarkan untuk peremajaan akbar rakyat China". Tenggat perampungan "peremajaan akbar" ini diproyeksikan pada 2049, bertepatan dengan ulang tahun revolusi komunis ke-100. Jaraknya dengan masa sekarang hampir 30 tahun.

Namun, ada alasan lain mengapa Xi terlihat buru-buru.

Kekuatan militer China semakin berkembang

Pertama adalah China boleh jadi segera memiliki kemampuan militer untuk mengalahkan AS dalam peperangan memperebutkan Taiwan.

"Selama 20 tahun terakhir, pertanyaan utama yang banyak orang tanyakan adalah, apakah Amerika Serikat akan membela sekutu-sekutu dan mitra-mitranya?" kata Mastro.

"Itu adalah pertanyaan yang sebelumnya diajukan. Apakah Amerika Serikat akan datang membantu Taiwan? Namun, saat militer China menjadi lebih maju, pertanyaannya telah berubah dari apakah menjadi mampukah?"

Transformasi militer China dari "Tentara Rakyat" berteknologi rendah menjadi militer modern berteknologi tinggi berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan banyak kalangan.

Kecepatan dan skala perubahan tersebut tampak dalam parade ulang tahun RRC ke-70 di Beijing pada 1 Oktober tahun lalu.

Di antara deretan tank, artileri, dan peluncur roket, terdapat sejumlah sistem persenjataan yang mencolok, antara lain pesawat jet dan drone siluman serta "kendaraan hipersonik."

Alutsista terbaru ini dirancang untuk menyerang armada tempur kapal induk AS, jikalau mereka berupaya turut campur melindungi Taiwan.

Kapten James E Fanell sempat menjabat direktur Badan Intelijen Angkatan Laut untuk armada Pasifik AS hingga pensiun pada 2015.

"Saya mencirikan apa yang saya sebut kerisauan satu dekade, yaitu saat ini pada 2020 hingga 2030, sebagai masa paling berbahaya menurut saya," papar Fanell, yang kini bekerja untuk lembaga Pusat Kebijakan Keamanan Jenewa.

"Baik [mantan Presiden] Hu Jintao dan Xi [Jinping] memerintahkan PLA untuk punya kemampuan mengambil alih Taiwan secara militer pada 2020," kata dia.

"Jadi selama 20 tahun terakhir mereka telah mengupayakan memenuhi perintah untuk memiliki kapasitas dan kemampuan melancarkan invasi militer ke Taiwan."

'Kegagalan' Amerika di Laut China Selatan

China juga secara bertahap menguji Amerika, untuk melihat seberapa jauh negara itu bisa bertindak sebelum AS merespons ancaman terhadap sekutunya.

Menurut Kapten Fanell, AS berulang kali gagal dalam ujian itu. Pertama, AS membiarkan China mengambil Scarborough Shoal dekat perairan Filipina pada 2012. Kemudian, AS berpangku tangan ketika China membangun sejumlah pangkalan di pulau-pulau buatan di Laut China Selatan.

"Yang terjadi di Scarborough Shoal dari April hingga Juni 2012 adalah kegagalan kebijakan luar negeri terbesar Amerika di Asia sejak helikopter-helikopter kami lepas landas dari gedung-gedung kedutaan di Saigon pada 1975," katanya, merujuk kekalahan militer AS dalam Perang Vietnam.

"Itu adalah bencana dan dampaknya sangat melumpuhkan kredibilitas nasional Amerika di Asia saat kami tidak melakukan apapun untuk membela Filipina."

Bagi China, menduduki Taiwan bukan hanya perkara mengembalikan "teritori yang hilang". Kendali pada pulau itu membuat Beijing mendapatkan "kapal induk antikaram di Pasifik"—istilah yang pernah diucapkan Jenderal Douglas MacArthur.

Mastro mengatakan kemenangan China atas Taiwan akan mengubah total peta strategis Asia.

"Jika China jadi bertempur untuk mendapatkan Taiwan dan menang, mereka tidak hanya reunifikasi dengan Taiwan, tapi pada dasarnya juga mengakhiri peran Amerika Serikat sebagai pemimpin di Asia sebagaimana yang kita tahu selama ini," kata dia.

"Dengan demikian, ada banyak keuntungan dari perspektif China."

Di Washington DC, kini ada pemahaman lintas haluan partai bahwa ancaman terhadap Taiwan meningkat. Sebagai sinyal yang jelas untuk China, pemerintahan Presiden Donald Trump telah menyetujui penjualan senjata bernilai miliaran dollar ke Taiwan, termasuk, untuk pertama kalinya, rudal canggih yang diluncurkan dari udara ke darat.

Risiko salah menghitung kekuatan militer AS

Bagaimanapun, masih belum jelas apa yang akan dilakukan Amerika Serikat jika Taiwan diserang. Kapten Fanell mengatakan aksi semacam itu merupakan kesalahan.

"Kita tahu dari sejarah, kita tahu kurangnya dukungan terhadap pemerintah Taiwan mengindikasikan kepada Saddam bahwa dia leluasa ke Kuwait," kata dia.

"Kita tahu dari Perang Korea, pernyataan-pernyataan ambigu memberikan China dan Rusia pemikiran bahwa OK untuk menyerang Semenanjung Korea. Jika kita tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan tegas tentang siapa teman dan sekutu dan apa yang akan kita lakukan untuk membela mereka, maka kita menempatkan mereka dalam risiko," tambahnya.

Konflik-konflik tersebut juga menjadi pelajaran bagi Xi Jinping, menurut Prof Tsang. Walau terlambat, Amerika toh membantu Korea Selatan dan Kuwait.

Prof Tsang menilai China tidak akan menganggap enteng tekad militer AS begitu mereka diprovokasi.

"Semangat militer Amerika Serikat adalah mereka akan bertempur dan bertempur dan bertempur. Jika China memperhitungkan itu, saya pikir mereka akan lebih berhati-hati dalam membuat kalkulasi dan risiko salah perhitungan bisa dikurangi," paparnya.

Jika kemarahan dan kecurigaan mengenai Covid-19 ditambahkan pada ketegangan akibat perang dagang, investigasi Huawei, penutupan konsulat, dan pengusiran wartawan, hubungan antara Washington DC dan Beijing berada pada titik terendah sejak peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen pada 1989.

Ada berbagai suara di kedua belah pihak yang menyerukan agar presiden AS selanjutnya meninggalkan cara-cara permusuhan dan kembali melakukan pendekatan dengan China. Namun, dari beragam kalangan yang saya wawancarai, secara umum mengatakan cara pendekatan lama telah gagal.

Mereka mengatakan presiden AS selanjutnya harus mencari pendekatan tipe baru yang lebih jujur, lebih kukuh. Pada saat yang sama, AS harus lebih jelas mengenai kewajiban dan tujuannya, terhadap sekutu-sekutunya di Asia, termasuk Taiwan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI