Suara.com - Pada 3 November, rakyat Amerika akan melaksanakan pilpres. Apakah mereka akan memilih Donald Trump atau Joe Biden tergantung pada bagaimana mereka memandang tanggapan terhadap pandemi corona, aborsi, dan masalah lainnya.
Virus corona Pada awal tahun, tidak ada seorang pun di AS yang pernah mendengar tentang virus corona. Hampir 11 bulan kemudian, topik tersebut mendominasi percakapan politik di Washington.
“Ini mungkin akan menjadi masalah terbesar untuk pemilu 2020,” ujar Laura Merrifield Wilson, asisten profesor ilmu politik di Universitas Indianapolis kepada DW.
Di AS, lebih dari 220.000 orang telah meninggal. Pada 20 Oktober, jumlah kasus mencapai lebih dari 8,3 juta. Pengangguran di AS lebih tinggi daripada sebelumnya sejak Depresi Besar di awal tahun 1930. Presiden Donald Trump sendiri terinfeksi COVID-19 , meskipun itu hanya menghentikannya dalam mengadakan kampanye besar-besaran selama kurang dari dua minggu.
Baca Juga: Donald Trump Ejek Joe Biden karena Lupa Namanya saat Pidato
Mengenakan masker, sebuah tindakan sederhana yang direkomendasikan para ahli kesehatan untuk memperlambat penyebaran virus, telah berubah menjadi isu politik yang memanas.
Apakah presiden saat ini telah melakukan pekerjaan dengan baik dalam mengelola negara dalam menghadapi pandemi sangat bergantung pada siapa yang diajukan pertanyaan.
“Pemilihan ini dalam banyak hal telah menjadi referendum selama delapan, sembilan bulan terakhir,” kata Dr. Ashwin Vasan, seorang dokter dan asisten profesor di Columbia University Medical Center di New York, kepada DW.
“Apakah pemerintahan saat ini telah menyusun tanggapan, membuat rencana penanggulangan virus corona, dan melaksanakan rencana itu.” Kaum konservatif mengatakan bahwa tanpa tindakan Trump, situasinya akan menjadi lebih buruk.
Kaum liberal membantah bahwa ribuan orang tidak akan harus mati jika pemerintah sebelumnya telah menganjurkan pembatasan yang lebih ketat di semua negara bagian dan mendengarkan para ahli kesehatan masyarakat.
Baca Juga: Tak Mampu Kendalikan Pandemi Covid-19, AS Kibarkan Bendera Putih
Sistem kesehatan
Masalah kritis lainnya adalah isu sistem kesehatan yang menjadi jelas dalam sidang konfirmasi Amy Coney Barrett yang dipilih Trump untuk menduduki kursi Mahkamah Agung setelah Hakim Ruth Bader Ginsburg meninggal.
Pengadilan tertinggi AS akan menyidangkan kasus tak lama setelah pemilu tentang Affordable Care Act (ACA, atau juga dikenal sebagai “Obamacare”) dan memutuskan apakah undang-undang ini harus dicabut atau tidak.
Sepanjang masa kepemilihannya, Trump terus mencoba untuk mencabut ACA ini. Coney Barrett, yang telah mengkritisi ACA di masa lalu, tidak mengatakan apakah ia mendukung pencabutan tersebut.
Apakah masyarakat puas atau tidak dengan asuransi kesehatan yang mereka miliki di bawah ACA dan apakah mereka ingin mempertahankan “Obamacare” kemungkinan akan memainkan peran besar pada hari pemilihan. Krisis corona juga telah menjadikan sistem kesehatan sebuah isu krusial untuk dipertimbangkan para pemilih.
“Kami berada di tengah-tengah pandemi, di mana kurangnya jaminan perawatan kesehatan dan pengeluaran serta tagihan biaya medis yang besar setelah mereka pulih dari COVID-19 menjadi kesulitan tersendiri.
Belum lagi efek jangka panjang COVID, yang masih harus kami pelajari,” papar Vasan. Ekonomi “Perekonomian sangat penting bagi pemilih Amerika, terutama jika itu tidak sedang berjalan dengan baik,” kata Wilson. Ternyata tidak demikian.
Sebelum merebaknya pandemi, Trump memiliki rekor selama tiga tahun akan ekonomi yang kuat dan sehat. Akan tetapi, dimulainya penguncian pada bulan Maret di Amerika membuat bisnis kecil harus ditutup di seluruh negeri.
Pada pertengahan April tahun ini, lebih dari 23 juta orang Amerika kehilangan pekerjaan. Menurut Biro Statistik Tenaga Kerja hanya dalam dua bulan, tingkat pengangguran naik dari 3,5% menjadi 14,7%.
Ini adalah berita buruk bagi Presiden Trump yang terus-menerus menekankan betapa kuatnya ekonomi AS selama tiga tahun pertamanya menjabat. Begitu banyak orang Amerika yang kesulitan untuk mempertahankan keadaan finansial atau bahkan berjuang untuk mempertahankan rumah mereka.
Dalam keadaan ini, Trump mencoba meyakinkan para pemilih bahwa ia adalah orang terbaik untuk mengembalikan ekonomi ke jalurnya di hadapan krisis yang tidak terduga dan pasti akan mempengaruhi ekonomi di bawah kepresidenan manapun ini.
Untuk kandidat Demokrat Joe Biden, semua hal menjadi lebih mudah. Ia menyalahkan Trump karena kesalahannya menangani ekonomi selama pandemi dan berjanji dengan strategi “Build Back Better”-nya (bangun kembali dengan lebih baik), para kaum pekerja dan kelas menengah akan berada di posisi yang lebih baik daripada empat tahun di bawah kepemimpinan Donald Trump.
Dalam situasi seperti ini, “biasanya lebih sulit bagi petahana karena mereka adalah orang yang berkuasa, memiliki kebijakan dan yang bertanggung jawab,” kata Wilson.
Isu ras Kasus tewasnya George Floyd di tangan polisi Minneapolis pada bulan Mei telah membangkitkan kembali gerakan Black Lives Matter (BLM) di seluruh negeri.
Ketegangan rasial telah menjadi bagian dari sejarah AS sejak budak kulit hitam pertama tiba di negeri ini. Akan tetapi “musim panas ini jelas merupakan momen bersejarah,” ujar Wilson.
Orang Amerika kulit hitam dan kulit putih tidak hanya memprotes kekerasan polisi yang ditargetkan kepada kaum tertentu tetapi juga terhadap apa yang mereka anggap sebagai rasisme sistemik yang ada di AS.
Mereka menyerukan reformasi kepolisian berskala besar dan beberapa bahkan menyerukan pencairan dana kepolisian. Kritik terhadap gerakan tersebut, kebanyakan berasal dari mereka yang konservatif, telah memusatkan perhatian pada kekerasan yang terjadi di beberapa kota selama protes. Begitu pula dengan Presiden Trump, yang menyebut “Black Lives Matter” sebagai “simbol kebencian” dan berjanji akan memulihkan hukum dan ketertiban di jalan. Menurut Wilson, meskipun ini amat menggeramkan pendukung BLM, hal ini bekerja untuk pendukung Trump.
“Pesan yang disampaikan Trump adalah bentuk mobilisasi untuk pemilih Trump, para pemilih di dalam Partai Republik dan mungkin beberapa kaum independen yang condong ke kanan,” kata profesor ilmu politik itu. “Tema, janji dan kebijakan - semua yang Presiden Trump lakukan ditujukan untuk menargetkan para pendukung konservatifnya.”
Kaum liberal mengkritik bahwa tindakan Trump hanya memperkeruh suasana. Mereka meyakini bahwa seorang presiden seharusnya mempersatukan negara alih-alih menuangkan minyak ke atas api.
Aborsi “Aborsi adalah topik penting dalam pemilihan presiden 2020,” kata Wilson. Ini adalah topik yang paling penting bagi sebagian besar basis Trump: Protestan berkulit putih. Walau kelompok ini hanya terdiri dari 15% populasi AS, mereka pergi ke tempat pemungutan suara dalam jumlah besar.
Bahkan menurut jajak pendapat National Election Pool atau Kelompok Pemilihan Nasional, kelompok ini menyumbang lebih dari seperempat semua pemilih pada tahun 2016.
Banyak dari orang Kristen Protestan konservatif ini memegang nilai-nilai yang sesungguhnya bertentangan secara diametris dengan nilai-nilai yang mewarnai hidup Trump, misalnya dengan berbagai pernikahan dan perceraian yang dilalui Trump.
Tapi seperti yang dikatakan oleh sebuah konten Instagram oleh grup anti-aborsi “Students for Life”: “Benci Trump? Kami lebih membenci aborsi.”
Trump dianggap sebagai pilihan anti-aborsi yang pasti. Ia adalah presiden pertama yang menghadiri acara anti-aborsi “March for Life.”
Bagi orang Amerika di ujung spektrum yang lain, itu adalah alasan untuk tidak memilih Trump. Aborsi “juga merupakan masalah penting bagi sekelompok pemilih liberal,” kata Wilson. “Ada gerakan pro-choice (mendukung aborsi) yang besar di dalam partai Demokrat.”
Para pemilih ini melihat Coney Barrett sebagai pilihan Trump untuk kursi Mahkamah Agung sebagai bahaya bagi Roe v. Wade yang adalah keputusan yang telah menjamin akses perempuan ke aborsi yang aman dan legal selama 47 tahun terakhir.
Bagi Demokrat, suara untuk Biden juga merupakan suara untuk pilihan calon hakim Mahkamah Agung yang liberal dan pro-choice. (Ed: st/rap)