Suara.com - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain dan politikus Ferdinand Hutahaean kembali terlibat perdebatan mengenai pengesahan UU Cipta Kerja, Senin (26/10/2020), serta masalah ketidakpuasan terhadap UU tersebut.
Perdebatan bermula dari kritik Tengku terhadap pemerintah yang menurut dia terkesan "cuci tangan" bahwa bagi yang tidak puas dengan pengesahan UU Cipta Kerja bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan nanti di lembaga tersebut akan diuji.
"Kata Prof. Mahfud MD urusan hukum di NKRI bukan urusan pemerintah itu urusan yudikatif. Nah, UU Cipta Kerja dibuat pemerintah terus disuruh menuntut ke MK jika tidak puas."
Bagi Tengku, hal tersebut, "sama saja membiarkan pemerintah berbuat "seenaknya" terus MK disuruh membereskan alias "cuci piring" Enak ya."
Baca Juga: Kali Ini Ferdinand Diselentik Tengku: Ferdinand Mana Ngerti?
Tetapi Ferdinand Hutahaean tidak sependapat dengan apa yang disampaikan Tengku dan dia menjelaskan tujuan didirikan MK.
Politikus yang sering berseteru dengan Tengku itu, mengatakan, "Zul, saya kasih tahu ya biar cerdas dikit. Pengadilan itu (MK) adalah tempat mencari kebenaran atas perbedaan pendapat hukum. Pemerintah dan sebagian buruh berbeda pendapat soal UU Ciptaker, MK untuk menemukan nilai kebenaran atas perbedaan itu tempatnya adlh MK. Jadi bukan cuci piring," kata Ferdinand.
Tanggapan Tengku atas reaksi Ferdinand tersebut, dia menekankan bahwa dalam konteks pembuatan UU Cipta Kerja seharusnya dalam membuat aturan, pemerintah meminta masukan kepada publik sebelum aturan disahkan, bukan sebaliknya.
"Di negara Pancasila yang utamakan musyawarah mestinya masukan atas produk undang-undang dilakukan sebelum pengesahan. Jangan dibalik Pak Jokowi. Sudah disahkan baru minta masukan. Ferdinand mana ngerti?" kata Tengku.
UU Cipta Kerja yang disetujui pemerintah, disahkan DPR melalui rapat paripurna pada Senin (5/10/2020).
Baca Juga: Ferdinand Balas Kritik Tengku: Zul, Saya Kasih Tahu Ya Biar Cerdas Dikit
Merespon pernyataan Tengku, Ferdinand menekankan bahwa proses dan dinamika yang terjadi di DPR selama pembahasan UU Cipta Kerja sudah sesuai dengan Pancasila.
"Pak Zul, musyawarah di DPR itu sudah sesuai dengan Pancasila, ada kesempatan bagi semua menyampaikan pendapat, tapi bantah lisan tak mungkin terjadi dan berlangsung terus tanpa keputusan, itulah hakikat demokrasi, maka suara terbanyak menjadi penentu. Zul mana paham demokrasi," kata Ferdinand.
Akan segera diteken Jokowi
Di tengah pro dan kontra, naskah final UU Cipta Kerja sebanyak 1.187 halaman kini sudah di Istana. Dalam waktu dekat, naskah tersebut kabarnya ditandatangani Presiden Jokowi.
Staf Khusus Presiden bidang Hukum Dini Purwono mengatakan naskah UU tersebut sudah melewati proses cleansing Sekretariat Negara. Sebelumnya, halaman naskah 812, sekarang menjadi 1.187 halaman.
Pasal 46 dihapus karena ada kesalahan ketik. Penghapusan Pasal 46 kemudian menjadi polemik baru di masyarakat.
Tetapi Dini memastikan tidak mengubah substansi.
"Yang tidak boleh diubah itu substansi, dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif/typo (salah ketik) dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR," kata Dini.