Suara.com - Buntut dari kekecewaan rakyat karena UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan oleh DPR, belakangan muncul seruan untuk melakukan pembangkangan sipil terhadap pemerintah.
Seruan tersebut salah satunya dicetuskan oleh ahli hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar dalam sebuah konferensi pers virtual menanggapi UU Cipta Kerja awal bulan November ini.
"Saya menawarkan kita semua harus teriakkan bersama penolakan terhadap undang-undang ini. Pembangkangan sipil atau apalah itu bentuknya itu bisa dipikirkan, tapi maksud saya ini cara kita melihat baik-baik UU ini jangan dibiarkan begitu saja. Kalau tekanan publik kuat itu merupakan bagian dari partisipasi sipil," kata Zainal sebagaimana dikutip Suara.com.
Terkait seruan pembangkangan sipil ini, program acara Rosi yang tayang di stasiun televisi Kompas TV membahasnya bersama sejumlah narasumber salah satunya Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar.
Baca Juga: Politisi Pendukung Jokowi Teriak Tolak Pembangkangan Sipil: Kami Tak Bodoh
Menurut Haris pembangkangan sipil tidak perlu diglorifikasi, karena dia sudah terjadi secara sosiologis.
"Tanpa ada omnibus law, masyarakat itu sudah melakukan pembangkangan sipil. karena mereka mengalami kemandekan dalam mekanisme, mengalami kesulitan harus datang ke MK dari Papua, Aceh dan lain-lain," ujarnya dikutip Suara.com, Jumat (23/10/2020).
Selain itu, pembangkangan sipil sebagai bagian dari kekecewaan rakyat terhadap pemerintah tidak hanya berwujud demonstrasi turun ke jalan melainkan ada bentuk lainnya.
"Pembangkangan sipil itu sudah terjadi, bukan sekadar demonstrasi, pasif dan diam saja, tidak bayar pajak ramai-ramai itu bagian dari simbol, bahwa mereka menolak," tegas Haris.
Saat ditanya tentang ajakan melakukan pembangkangan sipil, Haris menegaskan bahwa dirinya hanya mengkonstruksikan apa yang sudah terjadi di masyarakat.
Baca Juga: Gus Ulil ke Jokowi: Apa Bebek Lebih Berharga Ketimbang Buruh?
Sebelumnya dalam pembicaraan itu, narasumber lain Dosen Hukum Tata Negara STIH Jentera, Bivitri Susanti menerangkan apa yang dimaksud dengan pembangkangan sipil.
"Pembangkangan sipil rasionalitasnya adalah ketika masyarakat sipil tidak menemukan jalan keluar dari kebuntuan politik. Jadi persis seperti sekarang ini proses legislasi sangat tertutup, unjuk rasa direspon dengan kekerasan, ke MK pun banyak keraguan yang muncul dan tidak cepat," urainya.
Sederhananya, Bivitri menilai bahwa pembangkangan sipil merupakan respon dari publik kepada pemerintah ketika sudah tidak ada solusi alias mengalami jalan buntu.
Sejalan dengan Bivitri, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Anton Septian juga menyatakan bahwa pihaknya sebagai bagian dari pilar ke 4 demokrasi harus mengambil bagian.
Dalam hal ini, Tempo secara terang-terangan di editorialnya mendukung adanya gerakan pembangkangan sipil untuk memperbaiki keadaan.
Di sisi lain, Menkumham Yasonna Laoly menyanggah seruan pembangkangan sipil sebagai sesuatu yang mengerikan karena hal itu merupakan suatu bentuk provokasi politik.
“Pembangkangan sipil ini politik lah. Ajak distrust ke pemerintah, nggak bayar pajak ini too much. Ini ada perbedaan ya. Kita mesti taat lah. Mekanisme yang kita pakai yang konstitusional saja," ungkapnya.
Yasonna lantas mengkritik pihak-pihak yang menyerukan pembangkangan sipil karena menggerakkan massa yang tidak paham untuk melawan.
"Ini bukan lagi berbahaya, sangat mengerikan. Kita ajak orang yang tak paham untuk pembangkangan sipil,” imbuhnya.