Suara.com - Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, meminta publik tidak menggunakan paradigma budaya Barat dalam menyikapai penanganan TNI dan Polri menegakan aturan terhadap anggotanya yang berorientasi seksual sesama jenis atau LGBT.
Hal itu diungkapkan Arsul seiring pernyataan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menilai TNI dan Polri bertindak diskriminatif saat menyikapi anggota mereka yang LGBT.
"Kebijakan dan sikap TNI-Polri terhadap LGBT itu jangan dilihat dengan kaca mata budaya barat, filosofi barat dan paradigma berpikir Barat. Indonesia ini adalah negara yang punya budaya, norma dan nilai sosial yang berbeda dengan yang berkembang di dunia Barat," kata Arsul dihubungi Suara.com, Jumat (23/10/2020).
Arsul mengatakan, antara budaya Indonesia yang ketimuran dengan budaya Barat dalam memandang terhadap perilaku LGBT merupakan cara pandang berbeda.
Baca Juga: IPW Sebut Ada Belasan Anggota Polisi LGBT Tak Terungkap, Ini Kata Polri
Di barat, kata Arsul, terkait perilaku cabul dan menyoal kesusilaan termasuk yang dilakukan orang-orang yang berorientasi seksual menyimpang seperti LGBT tidak dianggap sebagai pelanggaran budaya dan norma. Sehingga pembedaan perlakuan akan dianggap sebagai sikap diskriminatif.
"Sedang di Indonesia itu dianggap sebagai pelanggaran. Nah terhadap mereka yang berpotensi sebagai pelanggaran norma sosial dan budaya maka ya bukan hal ganjil kalau berbeda dengan yang di dunia Barat," ujar Arsul.
Arsul memaparkan, di dunia barat sendiri semisal di Amerika Serikat memiliki aturan di mana orang dengan orientasi seksual sesama jenis atau LGBY tidak diperkenankan masuk menjadi kalangan militer.
"Ini karena di institusi militer memang memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan yang berada di masyarakat umum dunia Barat," kata Arsul.
Sebelumnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa stigmatisasi dan represi yang dilakukan TNI-Polri terhadap anggotanya yang ternyata berorientasi seksual penyuka sesama jenis alias Gay adalah tindakan diskriminasi.
Baca Juga: 5 Fakta Paus Fransiskus Setuju Pernikahan Sesama Jenis
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menjelaskan bahwa TNI-Polri telah menyerang orientasi seksual dan ekspresi gender seseorang yang dilindungi oleh hukum dan konstitusi negara.
"Diskriminasi atau pembedaan perlakuan jelas melanggar hukum dan konstitusi negara, termasuk diskriminasi terhadap LGBT," kata Erasmus dalam keterangannya, Kamis (22/10/2020).
Erasmus menegaskan, konstitusi telah menegaskan beberapa hak yang dimiliki warga negara, termasuk hak atas privasi, ekspresi dan perlakuan yang sama dihadapan hukum serta hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Khusus untuk persamaan di hadapan hukum yang telah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 j.o Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan hak bebas dari perlakuan diskriminatif yang telah diatur dalam Pasal 28B ayat (2) jo. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
"Maka pembedaan perlakuan berdasarkan orientasi seksual jelas telah melanggar konstitusi negara. Atas dasar itu, maka segala tindakan diskriminatif adalah sikap dan tindakan terlarang," tegasnya.
Pengaturan yang memberikan pembedaan dalam kondisi tertentu diperbolehkan selama tindakan-tindakan tersebut bersifat khusus dan sementara yang dinamakan “affirmative actions” dan hanya dapat digunakan untuk mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga tercapai perkembangan yang sama dan setara antar tiap kelompok masyarakat, seperti contoh perlakukan khusus untuk perempuan dan anak-anak.
"Sedangkan pembedaan yang dilakukan oleh TNI/Polri ini jelas bukan merupakan suatu affirmative action," ucap Erasmus.
Polri juga diminta untuk memperhatikan aturan internalnya sendiri, telah dimuat dalam Surat Edaran Polri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian,
"Secara jelas Surat Edaran tersebut menyebut komunitas yang dibedakan tersebut termasuk berdasarkan gender dan orientasi seksual, ujaran kebencian terhadap kelompok berbasis hal tersebut harus dilarang. Justru pihak kepolisian lah yang harusnya melindungi kelompok minoritas orientasi seksual berbeda, bukan melakukan tindakan diskriminatif," imbuhnya.
Atas hal tersebut, ICJR merekomendasikan kepada MA, TNI dan Polri sebagai institusi negara yang juga terikat pada instrumen Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Konstitusi untuk mengkaji ulang pernyataan-pernyataan menstigma dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
Kemudian juga menghapuskan semua kebijakan internal yang memberikan stigma pada kelompok minoritas tertentu salah satunya berbasis orientasi seksual, serta menganulir keputusan represif yang diberikan kepada anggota internalnya yang telah atau sedang dalam proses sanksi berbasis atas kebijakan yang diskriminatif.