Suara.com - Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diminta membatalkan putusan pemecatan terhadap setidaknya 15 anggota yang disangka "berperilaku homoseksual," kata Amnesty International Indonesia.
Pengamatan Amnesty, selama ini tidak ada instrumen hukum di Indonesia yang secara eksplisit melarang orang dengan orientasi berbeda masuk ke institusi TNI maupun Polri.
Tapi Mabes TNI dan Polri mengklaim, orientasi seksual seperti itu termasuk "perbuatan tercela dan tabiat yang dapat merugikan disiplin prajurit."
- Polisi gay di Semarang menggugat Polda Jateng setelah dipecat karena 'orientasi seksual'
- 'Spa gay' digerebek, pegiat kritik polisi gunakan UU Pornografi yang 'targetkan LGBT'
- 'Pesta gay': Polisi kenakan pasal muncikari dan pornografi ke kelompok LGBT, pakar dan aktivis sebut 'diskriminatif' dan 'keliru'
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan putusan pemecatan terhadap setidaknya 15 anggota yang diduga melakukan hubungan seksual sesama jenis sangat tidak adil dan berbau kebencian terhadap kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Baca Juga: ICJR: TNI-Polri Sudah Mendiskriminasi Anggotanya yang LGBT
Sebab dalam Undang-Undang TNI maupun Kepolisian, tidak ada satupun pasal yang terang benderang melarang warga negara dengan orientasi seksual selain heteroseksual masuk ke dua institusi tersebut, kata Usman.
"Putusan ini sangat tidak adil dan harus dibatalkan. Bagaimanapun setiap warga negara, setiap orang, tidak boleh ada yang dihukum hanya karena orientasi seksual mereka," ujar Usman Hamid kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (22/10).
"Ini adalah tindakan yang berbau kebencian terhadap sesama manusia, anggota, warga negara, hanya karena identitas seksual yang dianggap menyimpang," kata dia.
Indonesia, menurut dia, sudah selayaknya mengikuti langkah sejumlah negara maju yang membolehkan gay masuk militer.
Ia mencontohkan, Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Australia, Belanda, dan Swiss.
Baca Juga: Akui Hak Pasangan LGBT, Paus Desak Pembuatan UU Persatuan Sipil
Pasalnya, orientasi seksual tidak memiliki kaitan langsung dengan kemampuan fisik seseorang dan tidak bisa dijadikan dasar penilaian.
Selain itu, katanya, dalam sebuah studi di Kanada menyebutkan tidak ada penurunan kinerja militer ketika kaum gay atau lesbian masuk militer.
"Itu sama dengan tes keperawanan di militer dan Polri. Apa hubungannya antara keperjakaan, keperawanan, bahkan orientasi seksual seseorang? Apakah mereka memiliki kecerdasan yang berbeda sehingga tidak layak?"
"Harusnya dinilai dari hal-hal objektif seperti pendidikan, bukan identitas yang melekat."
Kata Usman, jika TNI dan Polri tidak mengubah pandangannya tersebut akan dianggap melakukan diskriminasi terhadap warga negara berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender.
"Institusi militer dan Polri harusnya jadi contoh bahwa negara menjaga komitmen terhadap hak asasi manusia."
'Perilaku homoseksual melanggar disiplin militer'
Kepala Bidang Penerangan Umum Puspen TNI, Kolonel Sus Aidil, mengatakan larangan anggota TNI memiliki orientasi seksual penyuka sesama jenis tertuang dalam pasal 62 Undang-Undang TNI.
Pasal itu berbunyi: "para prajurit diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas keprajuritan karena mempunyai tabiat dan atau perbuatan yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan TNI".
Kendati tidak eksplisit menyebut orientasi seksual sesama jenis ataupun LGBT, tapi TNI menafsirkannya sebagai homoseksual.
Katanya juga, prajurit dengan orientasi seksual seperti itu akan terganggu dalam menjalankan tugas.
"Ya [homoseksual] itu akan mengganggu. Itu kan penyakit psikologi. Pasti mengganggu keseriusan, fokusnya. Itu orang-orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya," ujar Sus Aidil kepada BBC Indonesia.
Untuk itu, hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar pasal tersebut dan Surat Telegram Panglima TNI tentang Larangan terhadap Prajurit TNI dan PNS serta keluarganya untuk tidak melakukan hubungan sesama jenis, adalah pemecatan.
"Karena itu sudah melanggar disiplin militer," katanya.
Aidil menduga, adanya prajurit TNI yang homoseksual lantaran "terpengaruh lingkungan dan menonton video LGBT".
Sebab syarat masuk ke institusi TNI, katanya, sangat ketat dan dipastikan sehat secara jasmani dan rohani.
Ia juga menepis tudingan TNI berlaku diskriminatif karena memecat anggotanya atas dasar orientasi seksual.
"Kalau dibilang melanggar hak asasi manusia tidak bisa begitu, kami ada aturan dan syarat sendiri."
Terungkapnya kasus TNI terlibat dalam hubungan sesama jenis atau LGBT, disinggung oleh Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung, Burhan Dahlan dalam acara Pembinaan Teknis dan Administrasi Yudisial yang digelar pada Senin, (12/10).
Burhan mengatakan, ada 20 berkas perkara prajurit TNI yang tersangkaut kasus LGBT divonis bebas. Puluhan kasus itu tersebar di Makassar, Bali, Medan, dan Jakarta.
Kemudian pada Rabu (21/10), Mahkamah Agung menyebut sepanjang tahun 2020, ada 15 anggota TNI yang dipecat dan dihukum penjara karena berperilaku homoseksual.
Polri: Brigjen EP dijatuhi sanksi 'nonjob' hingga pensiun
Sementara itu, di institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), seorang perwira tinggi yakni Brigjen EP disanksi demosi atau pemindahan ke jabatan yang lebih rendah selama tiga tahun karena "terlibat dalam kelompok LGBT".
Juru Bicara Mabes Polri, Awi Setiyono, mengatakan Brigjen EP juga wajib meminta maaf secara lisan kepada pimpinan serta pihak-pihak yang dirugikan. Serta wajib mengikuti pembinaan mental selama satu tahun.
Awi menjelaskan, sidang etik terhadap Brigjen EP telah dilakukan pada akhir Januari lalu dan hasil persidangan Komite Kode Etik Profesi, perbuatan EP dinyatakan sebagai "perbuatan tercela".
"Dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri disana diatur di pasal 11 huruf c, setiap anggota Polri wajib menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum," imbuh Awi Setiyono dalam konferensi pers, Rabu (21/10).
Tak hanya meminta maaf, Brigjen EP juga dijatuhi sanksi tidak menyandang jabatan alias nonjob hingga pensiun.
Selain Brigjen EP, pada 2018 silam Polda Jawa Tengah juga memecat seorang anggota polisi berinisial TT secara tidak hormat karena dianggap melakukan hubungan seks sesama jenis.
Atas putusan itu, TT mengajukan banding namun ditolak oleh hakim PTUN Semarang. Tapi ia kemudian menggugat Kapolda Jateng atas keputusan pemberhentian itu setahun setelahnya dan kini memasuki agenda pembuktian.
Kuasa hukum TT dari LBH Masyarakat, Aisya Humaida, mengatakan gugatan kedua dilayangkan karena kliennya masih ingin bekerja di institusi kepolisian.
"Alasan terbesar dia karena pengabdian," ujar Aisya kepada BBC Indonesia, Kamis (22/10).
Kuasa hukum lainnya, Ma'ruf Bajammal, bercerita kondisi TT saat ini baik meski awalnya trauma ketika dipecat dari institusi polisi.
"Tapi seiring berjalannya, kondisinya sudah baik-baik saja karena mendapatkan dukungan yang tidak mempermasalahkan orientasi seksualnya," ujar Ma'ruf lewat pesan pendek kepada BBC.