Emotikon dan Retweet, Taktik Baru Demonstran Thailand Sampaikan Aspirasi

Kamis, 22 Oktober 2020 | 20:22 WIB
Emotikon dan Retweet, Taktik Baru Demonstran Thailand Sampaikan Aspirasi
Para pedemo pro demokrasi memadati jalan saat aksi protes anti pemerintah, pada peringatan 47 tahun pemberontakan mahasiswa tahun 1973, di Bangkok, Thailand, Rabu (14/10/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Jorge Silva/FOC/djo
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Demonstran di Thailand memiliki cara khusus di yakni dengan menggunakan emotikon dan Retweet di media sosial untuk mengumpulkan dan mengerahkan masa yang sudah hampir sepekan turun ke jalan.

Menyadur The Straits Times, pada hari Senin (19/10), penyelenggara demonstrasi bertanya kepada massa melalui media sosialFacebook apakah mereka harus mengadakan demonstrasi malam itu.

Emotikon "Peduli" menandakan "istirahat selama satu hari," sedangkan emotikon "Wow" adalah suara untuk "terus berjalan!" Mayoritas di Facebook memilih untuk melanjutkan protes.

Jajak pendapat serupa juga dilakukan di Twitter, menggunakan tombol suka dan retweet untuk memutuskan apakah akan melanjutkan demo atau tidak.

Baca Juga: Demo di Thailand Masuk Hari Ke-6, Massa Putar Lagu K-Pop Girls' Generation

Platform seperti Facebook, Twitter, dan Telegram menjadi tulang punggung gerakan yang dipimpin pemuda.

Demonstrasi di Thailand. (BBC Indonesia)
Demonstrasi di Thailand. (BBC Indonesia)

Cara tersebut merupakan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi Maha Raja Vajiralongkorn dan pembentukan kerajaan Thailand.

Cara tersebut juga terlihat seperti taktik "Be Water" yang dikuasai oleh para pengunjuk rasa di Hong Kong tahun lalu, gerakan desentralisasi menggunakan forum online untuk meminta para pendukung memberikan suara kapan dan di mana untuk berunjuk rasa.

Tindakan tersebut membuat polisi kalangkabut, pihak berwenang pekan lalu menutup sebagian Bangkok dan beberapa stasiun angkutan umum dalam upaya menggagalkan aksi.

Para demonstran sekarang mengadakan demonstrasi setiap hari sejak Perdana Menteri Prayut Chan-ocha mengeluarkan keputusan darurat untuk melarang pertemuan besar.

Baca Juga: Unjuk Rasa di Thailand Memasuki Hari Keenam, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Meskipun polisi telah menangkap lebih dari 70 orang demonstran, termasuk para pemimpin aksi, yang lain berbaris untuk menggantikan posisi mereka saat pengunjuk rasa menuntut Prayut mengundurkan diri, konstitusi yang lebih demokratis, dan lebih banyak akuntabilitas untuk monarki yang memegang kekuasaan dan kekayaan lebih dari institusi mana pun di Thailand.

"Kami sudah membuat pemerintah sakit kepala hanya dengan melakukan aksi unjuk rasa tanpa pemimpin untuk menunjukkan kepada mereka bahwa orang-orang menentang mereka," kata Arthitaya Pornprom, salah satu demonstran.

"Kami menunjukkan kepada mereka bahwa meskipun para pemimpin pergi, gerakan terus berlanjut. Semua orang adalah pemimpin." tegasnya.

Taktik baru

Pada hari Jumat, pengunjuk rasa menggunakan media sosial untuk menentukan lokasi baru dalam waktu satu jam setelah polisi menggagalkan rencana awal mereka.

Sejak itu mereka secara teratur bermunculan di berbagai lokasi dalam waktu yang singkat sebelum bubar dengan cepat untuk menghindari kekerasan.

Meskipun Thailand sudah lama menangani aksi protes, taktik ini sangat baru di Bangkok. Pada tahun-tahun sebelumnya, polisi harus berhadapan dengan pengunjuk rasa yang didukung oleh tokoh politik besar yang menduduki jalan atau lokasi strategis seperti bandara internasional selama berhari-hari atau berminggu-minggu.

Sekarang gerakan tersebut berbasis di dunia maya, dan pihak berwenang sedang berjuang untuk menghentikannya. Pemerintah pada Senin meminta penyedia layanan internet dan telepon untuk memblokir akses aplikasi Telegram, yang digunakan oleh para pengunjuk rasa dalam beberapa hari terakhir untuk mengoordinasikan rencana.

Bulan lalu, seorang menteri mengajukan pengaduan terhadap beberapa platform media sosial karena tidak mematuhi permintaan untuk menghapus konten yang dianggap "tidak pantas" oleh pemerintah.

Prayut juga memerintahkan polisi untuk menyensor media, sehari setelah pihak berwenang mengatakan mereka akan menyelidiki empat kantor berita yang mungkin melanggar keputusan darurat tersebut.

"Tugas kami adalah melindungi negara dan menghilangkan tindakan niat buruk yang bertujuan menciptakan kekacauan dan konflik," kata Prayut kepada wartawan setelah rapat kabinet.

Dampak ekonomi

Kebijakan untuk memblokir dan melarang media sosial seperti Facebook akan berdampak pada ekonomi, terlebih saat pandemi Covid-19.

Pengguna aktif Facebook di Thailand lebih dari 50 juta atau setara dengan lebih dari 70 persen populasi negara tersebut. Mereka menggunakan media sosial untuk mengobrol, berbelanja, dan mengikuti peristiwa terkini.

Ancaman pemerintah untuk mengambil tindakan hukum terhadap raksasa media sosial belum terwujud, meskipun beberapa postingan dan halaman telah dihapus atau diblokir.

"Pemerintah merasa sulit untuk menekan gerakan pengorganisasian dunia maya tanpa pemimpin semacam ini," kata David Streckfuss, seorang sarjana politik Asia Tenggara dan penulis buku tentang hukum lese majeste Thailand.

"Mereka bisa saja menutup media sosial - mereka memiliki kekuatan untuk melakukan itu. Tapi itu harus dibayar mahal. Situasi ekonomi saat ini cukup buruk, dan banyak bisnis bergantung pada media sosial. Mereka akan membuat situasi ekonomi semakin buruk dan mendorong lebih banyak gerakan untuk melawannya." sambungnya.

Protes berdampak pada saham dan mata uang Thailand karena meningkatnya kekhawatiran bahwa kebuntuan yang berkepanjangan dapat mengikis pendapatan perusahaan dan menunda pemulihan ekonomi.

Sementara itu, penyelenggara aksi protes seperti Arthitaya akan terus berjalan. "Kami mendapatkan momentum untuk pergerakan lebih dari sebelumnya sehingga kami harus terus melakukan aksi unjuk rasa," katanya.

"Kemarahan dari pengunjuk rasa akan terus meningkat. Jika pemerintah terus melangkah," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI