"Penggunaan sistem e-court bahkan hanya dapat dilakukan atas persetujuan para pihak. Para Penggugat telah mengajukan keberatan namun ditolak oleh majelis hakim dengan alasan sudah terlanjur terdaftar dalam sistem e-court," jelasnya.
Berikutnya, majelis hakim juga tak kunjung memberikan keputusan permohonan penundaan berlakunya surpres hingga putusan akhir, padahal penggugat sudah memohon surpres ditunda sampai sidang ini menghasilkan putusan hukum tetap.
"Menurut para penggugat, majelis hakim PTUN Jakarta dapat mencegah pembahasan ugal-ugalan RUU Cipta Kerja di DPR RI dengan penundaan tersebut, namun tidak dilakukan," ujarnya.
Koalisi sipil juga menilai ahli administrasi negara, Yos Johan Utama (Rektor Undip), saksi ahli yang dibawa pemerintah berpotensi konflik kepentingan karena termasuk dalam Satgas Omnibus Law.
Charlie menyebut penggugat sudah menyatakan keberatan dengan saksi ini namun majelis hakim menolak dan tetap mengizinkan Yos Johan Utama memberikan keterangan.
Terakhir, ada dugaan majelis hakim mengulur waktu persidangan hingga RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU oleh pemerintah dan DPR pada 5 Oktober 2020.
Di awal persidangan, kuasa hukum Jokowi meminta penundaan sidang hingga dua minggu hanya dengan alasan Jokowi belum memberikan surat kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara.
Kuasa hukum Jokowi juga beberapa kali meminta waktu cukup panjang untuk jawab menjawab dan kesimpulan yang diakomodir hakim meski penggugat (koalisi sipil) sudah menyampaikan keberatan.
Beberapa keputusan penundaan sidang melalui e-court bahkan telah diputuskan hakim tanpa memberikan kesempatan koalisi sipil menyampaikan tanggapan dan keberatan.
"Bagi Tim Advokasi, fakta bahwa pengesahan RUU Cipta Kerja dilakukan sebelum putusan diberikan sangat mempengaruhi pertimbangan hakim. Pasalnya jika RUU telah disahkan, maka telah muncul kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji proses penerbitan suatu RUU dan dengan mudah hakim TUN dapat menolak memeriksa gugatan atas dasar tersebut," pungkas Charlie.
Diketahui, sidang dengan nomor gugatan 97/G/2020/PTUN.JKT sudah digelar sejak 9 Juni 2020, koalisi sipil meminta PTUN untuk menyatakan Surat Presiden itu batal atau tidak sah dan mewajibkan Jokowi mencabut surat tersebut.
Baca Juga: Uang 100 Ribu Dolar Singapura Terkait Skandal Djoko Tjandra Dikirim ke KPK
Alasannya, Surpres itu telah melanggar prosedur dan substansi dari penyusunan draf RUU Ciptaker yang dilakukan pemerintah karena tidak melibatkan masyarakat seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.