Suara.com - Greenpeace Asia Tenggara menyebut pemerintah Indonesia gagal dalam melindungi hutan dan lahan gambut dari aksi pembakaran. Bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan sejak 2015 sampai 2019, Greenpeace mencatat sebanyak 4,4 juta hektar lahan yang dibakar.
"Terungkap sekitar 4,4 juta hektar lahan atau setara 8 kali luas pulau Bali terbakar antara tahun 2015-2019," kata Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik dalam keterangannya, Kamis (22/10/2020).
Kiki mengatakan sejumlah perusahaan perkebunan yang beroperasi di Indonesia ternyata yang paling banyak melakukan kerusakan hutan dan lahan.
"Kemudian Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan demi kepentingan bisnis yang mengancam aturan perlindungan lingkungan dan memperburuk risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla)," ungkap Kiki.
Baca Juga: Gus Ulil ke Jokowi: Apa Bebek Lebih Berharga Ketimbang Buruh?
Kiki menuturkan dalam analisa yang dilakukan Greenpeace Asia Tenggara, bahwa 4.4 juta hektare hutan dan lahan yang dibakar, sekitar 789.600 hektar kawasan ini 18 persen diantaranya telah berulang kali terbakar.
Apalagi, kata Kiki sebanyak 1.3 juta hektare atau 30 persen dari area terbakar sejak yang dipetakan antara 2015 – 2019 berada di konsesi kelapa sawit dan bubur kertas.
"Pada tahun 2019, karhutla tahunan terburuk sejak 2015 yang membakar 1,6 juta hektar hutan dan lahan atau setara 27 kali luas wilayah DKI Jakarta," paparnya.
Kiki menyebut 8 dari 10 perusahaan kelapa sawit dengan area terbakar terbesar di konsesi mereka dari 2015 hingga 2019, sama sekali belum mendapatkan sanksi maupun tindakan hukum.
"Belum menerima sanksi apapun meskipun kebakaran terjadi dalam beberapa tahun terakhir di dalam konsesi mereka," ujar Kiki.
Baca Juga: Dikerjakan 5 Tahun, Jokowi Resmikan Jembatan di Kendari Berbiaya Rp 804 M
Menurut Kiki, perusahaan perkebunan dan lahan Hak Guna Usaha terbakar untuk dicabut dan membayar potensi denda sekitar Rp 5,7 triliun.
Apalagi, kata Kiki, petinggi asosiasi GAPKI dan APHI menjadi anggota satan tugas RUU Cipta Kerja, ini dapat menimbulkan konflik kepentingan.
"Sebab ditemukan total 12 perusahaan yang merupakan anggota GAPKI atau APHI dengan area terbakar terbesar di kategori perkebunannya masing-masing," tegas Kiki
Menurut Kiki, perusahaan multinasional kelapa sawit dan bubur kertas secara praktis memiliki andil dalam mempengaruhi aturan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
"Tahun demi tahun mereka melanggar hukum dengan membiarkan hutan terbakar, namun mereka bisa menghindari keadilan dan tanpa dikenakan sanksi," ujar Kiki.
Menurut Kiki, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang baru-baru ini disahkan tanpa melibatkan publik merupakan cerminan dari buramnya sistem yang akan merusak sebagian besar hutan dan lahan gambut tersisa serta menggusur lahan masyarakat adat.
"Ketika pemerintah memberikan peran lebih kepada perusahaan sawit dan bisnis bubur kertas dalam menyusun RUU Cipta Kerja, maka ini seperti memberikan kunci kandang ayam kepada rubah lapar. Sekarang mereka dapat bertindak dengan leluasa tanpa takut terkena sanksi tegas," kata dia.
Dia menambahkan, kebijakan seperti Omnibus Law yang dianggap pro-bisnis yang mengabaikan aspirasi rakyat dan hanya melihat alam sebagai sumber daya untuk diekstraksi demi keuntungan jangka pendek. Ini, dapat menimbulkan bencana besar bagi kesehatan manusia, HAM dan iklim.
"Kegilaan ini bisa diakhiri oleh Presiden Jokowi dengan membatalkan implementasi RUU Cipta Kerja," tegas Kiki.
Maka itu, Kiki menilai Presiden Joko Widodo harus mengambil langkah tegas untuk membatalkan UU Omnibus Law terhadap hutan dan manusia.
"Jika dia gagal bertindak, kita menghadapi masa depan dengan kebakaran yang lebih besar dan krisis lingkungan, kesehatan dan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya serta akan dirasakan tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia," ujarnya.