Adab Menerima Tamu Dalam Islam, Dicontohkan KH Hasyim Asy'ari Kakek Gus Dur

Dany Garjito Suara.Com
Kamis, 22 Oktober 2020 | 12:53 WIB
Adab Menerima Tamu Dalam Islam, Dicontohkan KH Hasyim Asy'ari Kakek Gus Dur
Ilustrasi menerima tamu, bertamu, makan bersama. (envato)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bagaimana adab menerima tamu sesuai ajaran Islam? Agama Islam mengajarkan etika dalam berbagai hal, termasuk etika menerima tamu.

Menghormati setiap tamu yang datang ke rumah dan mempunyai tujuan yang baik hukumnya wajib.

Rasululllah SAW mengatakan bahwa sesiapa yang beriman kepada Allah, maka hormatilah tamu.

KH Muhammad Hasyim Asy'ari menjadi teladan dalam menghormati tamu

Baca Juga: Perbandingan Jokowi, Gus Dur, SBY dan Soeharto di Mata Rocky Gerung

Menyadur dari NU Online, KH Muhammad Hasyim Asy'ari juga menjadi teladan dalam menghormati tamu.

Pendiri Nahdlatul Ulama dan seorang Pahlawan Nasional ini kerap menerima tamu di Pesantren Tebuireng Jombang.

KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, rumah Kiai Hasyim Asy’ari setiap hari tidak pernah sepi dari kunjungan tamu-tamu yang puluhan banyaknya, bahkan kadang-kadang hingga ratusan.

Tamu-tamu tersebut bermacam-macam tingkatannya, ada kiai, santri, wali murid, pamong praja, saudagar, petani, pemuda, dan sebagainya. Tamu-tamu ini semuanya dilayani dengan baik, sekalipun tidak pernah ada janji bertemu sebelumnya dan sekalipun datang pada waktu yang umumnya orang sedang istirahat.

Selain itu, sekali pun ada khadam yang menyuguhkan minuman dan makanan, tetapi Kiai Hasyim Asy’ari sendiri yang meletakkan suguhan di hadapan sang tamu. Bahkan kadang-kadang beliau sendiri yang mengambilnya dari ndalem (ruangan tengah di rumahnya) jika kebetulan khadam sedang ngaso (istirahat).

Baca Juga: Pemain Debus dan Bukan Anak Kiai, Masa Lalu Gus Nur Dibongkar Denny Siregar

Bahkan jika kedatangan tamu tepat di waktu makan (siang maupun malam), maka hidangan makan dikeluarkan dan bersama tamu beliau makan bersama. Dengan amat ramahnya tamu diladeni (diperhatikan) dengan kata-kata Kiai Hasyim yang menyenangkan. Hingga jika tamu-tamu tersebut terdiri dari banyak orang, maka masing-masing tamu merasa bahwa dialah yang paling disayang oleh Hadhratussyekh.

Setiap tamu yang sowan ke kediaman Kiai Hasyim Asy’ari merasa istimewa

Siapa saja yang pulang dari bertamu akan merasa bahwa dirinya orang yang paling dekat dengan Kiai Hasyim Asy’ari. Para tamu puas dan menjadi kenangan membahagiakan sepanjang hidupnya.

Adakalanya sang tamu datang dengan membawa oleh-oleh, misalnya buah pepaya. Hadhratussyekh memperlihatkan suka citanya atas oleh-oleh itu dan sambil berkata: “Alhamdulillah, alhamdulillah, pucuk dicita, ulam tiba. Saya sudah lama ingin buah pepaya. Alangkah bagusnya pepaya ini, alangkah nikmatnya.” Berulang-ulang beliau mengucapkan terima kasih dan mendoakan tamunya. (KH Saifuddin Zuhri, 2001: 129)

Pada tahun 1943, KH Saifuddin Zuhri yang kala itu menjabat Pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Wilayah Jawa Tengah berkesempatan bersilaturahim ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang pimpinan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ia disambut hangat oleh Gus Wahid Hasyim yang menginginkan dia mampir ke Tebuireng.

Saifuddin Zuhri saat itu hendak menghadiri jambore Gerakan Pemuda Ansor yang berlangsung di Surabaya sebagai utusan wilayah Jawa Tengah. Gus Wahid Hasyim langsung mengajak Saifuddin Zuhri untuk menghadap Hadratussyekh di kediamannya di komplek pesantren.

Saat Saifuddin Zuhri menghadap, Kiai Hasyim Asy’ari sedang duduk bersilah sambil membaca sebuah surat. Saifuddin Zuhri merasa heran seorang yang sepuh berumur lebih dari 70 tahun tetapi masih bisa membaca tanpa kacamata. Kiai Hasyim saat itu mengenakan baju ‘Jawa’ seperti piama tak berleher, berwarna putih terbuat dari kain katun, bersarung plekat dan mengenakan serban.

Saifuddin Zuhri diperkenalkan oleh Gus Wahid kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Ayah dan anak ini terdengar berkomunikasi menggunaan bahasa Arab. Tetapi sesekali Gus Wahid menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahandanya dalam bahasa Jawa alus.

Namun setelah Gus Wahid memperkenalkan Saifuddin Zuhri dari kalangan Pemuda Ansor, Hadratussyekh kontan langsung menggunakan bahasa Indonesia yang terucap halus, rapi, sistematis, dan urut meskipun telah diberitahukan bahwa Zuhri berasal dari Jawa Tengah.

(Fathoni Ahmad)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI