Demo Warnai Setahun Periode Kedua Jokowi, Bagaimana Nasib Demokrasi?

SiswantoBBC Suara.Com
Rabu, 21 Oktober 2020 | 11:56 WIB
Demo Warnai Setahun Periode Kedua Jokowi, Bagaimana Nasib Demokrasi?
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Momen satu tahun pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo diwarnai dengan gelombang demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja.

Pegiat HAM menyebut dalam satu tahun terakhir, terjadi "resesi demokrasi" dan pembungkaman kebebasan berpendapat. Namun pemerintah melalui Kantor Staf Presiden membantah tudingan tersebut.

Sementara pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai koalisi gemuk dalam periode kedua Presiden Jokowi disebut sebagai "pemerintahan terkuat yang pernah ada," namun itu justru menciptakan "demokrasi terbatas" dalam kinerja satu tahun pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo.

"Pasca reformasi ini adalah pemerintahan terkuat yang pernah ada. Oposisi tidak terlalu berperan banyak, bahkan sedikit sekali jumlahnya di parlemen dan pemerintah bisa bergerak seenaknya dan semaunya karena dengan dukungan parkemen yang maksimal maka tidak ada tantangan yang berarti," ujar Hendri kepada BBC News Indonesia, Selasa (20/10).

Baca Juga: Periode Kedua Jokowi Mentahkan Anggapan Planga-Plongo: Lebih Berani

"[Oposisi] dari civil society pun bisa sering dibantah atau sering ditutup dengan UU ITE," ujarnya, seraya menambahkan demokrrasi yang terbatas ini membuat kebebasan berpendapat menjadi berkurang.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahrial Adian menegaskan pembungkaman atau terhadap "mereka yang berseberangan" tidak dilakukan atas nama politik, melainkan "murni kasus hukum."

Oligarki dan resesi demokrasi

Elemen mahasiswa dan buruh kembali turun ke jalan di sejumlah kota untuk berunjuk rasa menentang Undang-Undang Cipta Kerja pada Selasa (20/10), bersamaan dengan momen satu tahun Presiden Joko Widodo menjabat dalam periode kedua pemerintahannya.

Seperti halnya dalam rangkaian demonstrasi sebelumnya, mereka menuntut agar Presiden Joko Widodo membatalkan UU Cipta Kerja yang dijuluki sebagai Omnibus Law itu, dan menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Baca Juga: Jangan Coba-coba Main Api di Kudus dan Sultra, Berbahaya

Gelombang penolakan UU Cipta Kerja yang dianggap kontroversial muncul di berbagai daerah sejak 6 Oktober hingga 16 Oktober lalu diikuti oleh massa dari elemen buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam satu tahun terakhir justru memperlemah penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, menghancurkan lingkungan, dan merampas ruang hidup masyarakat

Salah satu contoh yang diangkat adalah pegesahan sejumlah undang-undang kontroversial seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba, revisi UU MK dan pengesahan UU Cipta Kerja.

"Dengan diketoknya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, maka paket agar oligarki semakin berkuasa di Indonesia sudah lengkap," kata Ketua YLBHI Asfinawati dalam keterangan tertulis.

Sedangkan pihak-pihak yang bertentangan dengan narasi yang dibangun oleh pemerintah justru dikriminalisasi menggunakan UU ITE, pemblokiran akun media sosial, peretasan akun mereka yang kritis kepada pemerintah, hingga pemadaman internet.

Kekerasan terhadap massa aksi juga terus terjadi.

Berdasarkan data kepolisian per 13 Oktober 2020 tercatat 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi.

Sementara, Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti menyebut penerapan pasal karet dalam UU ITE dan kekerasan oleh polisi membuat Indonesia tak hanya mengalami resesi ekonomi di tengah pandemi, namun juga resesi demokrasi.

"Penurunan kondisi demokrasi ini disebabkan oleh beberapa aspek, di antaranya penyempitan ruang masyarakat sipil, pola yang berulang terkait budaya kekerasan dan pelibatan aparat keamanan dan pengabaian penyelesaian kasus pelanggaran berat dan minimnya partisipasi public dalam implementasi proses demokrasi," kata Fatia dalam peluncuran laporan catatan Kontras atas kinerja satu tahun Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Senin (19/10).

Hendri Satrio mengungkapkan kehadiran Undang-undang ITE "meminimalisir arti demokrasi pada satu tahun pemerintahan Jokowi karena "diterjemahkan terlalu berlebihan."

"Undang-undang ITE itu benar-benar menutup musyawarah mufakat dan meminimalisir arti demokrasi. Bila tidak suka gunakan UU ITE. Itu yang menurut saya menjegal demokrasi dalam era Pak Jokowi," ujar Hendri.

Selain itu, keinginan pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat, juga sangat minim, kata Hendri.

Misalnya, dalam UU Cipta kerja yang dikeluhkan massa yang berdemo adalah beberapa butir pasal dalam UU setebal 812 halaman.

"Namun pemerintah tidak berusaha untuk mendengarkan bahkan cenderung defensif dengan pernyataan 'Kalau Anda tidak suka silakan judicial review ke MK'," kata Hendri.

Tapi, tudingan-tudingan itu dibantah oleh Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian, yang menegaskan pembungkaman atau penahanan terhadap mereka yang berseberangan tidak dilakukan atas nama politik, melainkan murni kasus hukum.

"Saya garis bawahi pemerintah tidak pernah seperti rezim yang terdahulu melakukan pembungkaman terhadap suara-suara kritis dan memproses mereka yang kritis karena alasan politik," tegasnya.

"Semua murni dilakukan di atas koridor hukum dan supremasi hukum menjadi platform yang jadi pegangan pemerintah," ujar Donny.

'Inovasi politik' dan 'tanpa beban'

Lebih jauh, Hendri Satrio yang juga merupakan pendiri Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) menilai pada periode kedua, Jokowi berupaya melakukan "inovasi politik" dengan mengutarakan dirinya "tanpa beban" di awal pemerintahan periode kedua tahun lalu.

Inovasi politik dan pemerintahan tanpa beban itu, ujar Hendri, diterjemahkan dengan "merekrut menteri-menteri yang tak biasa dilakukan presiden sebelumnya."

Misalnya, merekrut apa yang dia sebut sebagai "menteri milenial" dengan jabatan usia muda dan menggaet politisi yang sebelumnya oposisi untuk menduduki kursi menteri.

"Itu adalah inovasi yang dilakukan Jokowi di awal pemerintahannya untuk memudahkan dia menyelesaikan janji-janji kampanye pada pilpres waktu itu. Namun tidak smooth (lancar) jalannya," kata Hendri.

Pernyataan "tanpa beban" di awal pemerintahan, kata Hendri, juga tercermin dalam peraturan-peraturan kontroversial yang disahkan bersama DPR.

Oleh karena itu, dia menyebut bahwa trias politika yang diagung-agungkan oleh teori politik demokrasi "tidak berjalan baik" di tahun pertama pemerintahan Jokowi.

Sebab, peran legislatif sangat minimal terhadap pengawasan eksekutif, demikian halnya dengan yudikatif yang semestinya mengawasi legislatif dan eksekutif.

Dengan koalisi gemuk yang kini ada di pemerintahan, kata dia, aksi-aksi oposisi sangat terbatas.

Mardani Ali Sera, ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera yang saat ini menjadi oposisi pemerintah Jokowi, mengatakan kondisi parlemen yang dikuasai oleh partai pendukung Jokowi, membuat demokrasi tidak sehat.

"Kondisi sekarang terus terang merupakan cermin demokrasi yang sakit, karena ada lompat pagar setelah pilpres itu sebenarnya merusak suasana demokrasi dan antusias masyarakat," katanya.

"Ini bisa jadi boomerang bagi engagement publik terhadap demokrasi. Kekecewaan public merupakan counter yang membunuh demokrasi kita," ujarnya kemudian.

Akan tetapi, Aria Bima, politisi PDI Perjuangan yang menjadi partai penyokong Jokowi beralasan koalisi partai di parlemen harus kuat demi memuluskan program-program Jokowi.

"Presiden Jokowi selalu lebih menekankan soal deliver, daripada sending, hal ini membutuhkan dukungan dan partipasi masyarakat yang kuat," kata dia.

"Salah satu yang luar biasa di periode kedua ini adalah dukungan politik di parlemen dan birokrasi yang lebih efektif," jelas Aria Bima kemudian.

Bagaimana dengan kepuasan publik?

Merujuk survey yang dilakukan Litbang Kompas, sebesar 46,3% responden merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi selama satu tahun terakhir. Sementara 6,2% menyatakan sangat tidak puas.

Hasil itu didapat dari survey yang dilakukan terhadap 529 responden selama 14-16 Oktober 2020.

Aria Bima mengakui ketidakpuasan publik dalam satu tahun periode kedua Jokowi, disebabkan oleh adanya "anomali" berupa pandemi virus corona yang membuat semua misi dan target pemerintahan Jokowi tersendat.

Sementara, Hinca Panjaitan, Sekjen Partai Demokrat - yang juga merupakan oposisi di pemerintahan Jokowi- mencermati aspek kebebasan sipil di satu tahun pemerintahan Presiden Jokowi di periode kedua.

"Benar bahwa Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 naik menjadi 74,92 akan tetapi Indeks Kebebasan Sipil justru mengalami penurunan sebanyak 1,26 poin," ujarnya, merujuk pada data indeks yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus lalu.

"Saya memahami betul bahwa dalam periode keduanya beliau pernah menyatakan bahwa akan memimpin tanpa beban sehingga acapkali mengeluarkan kebijakan yang tidak populer. Akan tetapi saya mengingatkan agar seluruh kebijakan harus sesuai dengan koridor hukum serta kehendak dari rakyat," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI