Suara.com - Pihak berwenang Thailand dilaporkan telah memblokir aplikasi pesan Telegram sebagai upaya untuk membatasi gerak demonstran.
Menyadur BBC, Selasa (20/10/2020), sebuah dokumen tersebar di media sosial terkait rencana pemblokiran aplikasi pesan yang digunakan oleh para pemgunjuk rasa anti-pemerintah ini.
Telegram disebutkan sebagai aplikasi perpesanan aman populer yang telah digunakan oleh para aktivis untuk mengatur protes dalam waktu singkat.
Media lokal pada Senin (19/20), melaporkan sebuah dokumen bertanda "sangat rahasia" bocor dan dibagikan secara luas di internet.
Baca Juga: Jika Ahok Jadi Presiden, TNI Pulang Perang Dapat Diskon Beli Sembako
Dokumen yang diduga kuat diproduksi oleh Kementerian Ekonomi Digital Thailand, otoritas kuat untuk penyensoran internet, telah dikirim ke Komisi Penyiaran dan Telekomunikasi Nasional.
"Kementerian Ekonomi dan Masyarakat Digital sedang mencari kerja sama anda untuk menginformasikan penyedia layanan internet dan semua operator jaringan seluler untuk menangguhkan penggunaan aplikasi Telegram," katanya.
Secara terpisah, polisi mengatakan mereka telah menginstruksikan kementerian digital untuk membatasi kelompok Pemuda Bebas di Telegram.
Kelompok tersebut telah memainkan peran kunci dalam mengorganisir protes dalam beberapa bulan terakhir.
Sementara, kepolisian Thailand juga mengancam akan menutup empat outlet berira karena dianggap melanggar keputusan yang dikeluarkan pekan lalu untuk mengakhiri aksi unjuk rasa.
Baca Juga: Mengapa Kaum Muda Pimpin Aksi Besar-besaran dan Bersedia Lawan Hukum?
Polisi mengatakan mereka tengah melancarkam penyelidikan terhadap empat media terkenal atas pelaporan langsung protes, yakni Prachatai, Voice TV, The Reporters, dan The Standard, yang secara ekstensif melaporkan proses unjuk rasa.
Anggota gerakan yang dipimpin mahasiswa telah berkumpul untuk menentang perintah larangan protes dan menginginkan Perdanan Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, mantan panglima militer yang merebut kekuasan dalam kudeta 2014, untuk mengundurkan diri.
Tuntutan reformasi pengunjuk rasa berkembang termasuk mempertanyakan peran monarki, sebuah institusi yang telah lama dianggap sakral di Thailand.
Pihak berwenang telah gagal menghentikan aksi untuk rasa sejak mereka mengeluarkan perintah darurat pada Kamis (15/10), dengan para demonstran masih berkumpul setiap hari, sebagia besar secara damai, di Bangkok dan kota-kota lain.
Sedikitnya 80 orang telah ditangkap sejak Selasa (13/10). Mereka yang ditahan berisiko menghadapi hukuman lama jika terbukti melanggar undang-undang lese majeste Thailand, yang melariang kritik terhadap monarki. Siapa pun yang melanggar hukum bisa dipenjara hingga 15 tahun.