Suara.com - Masa pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin akan genap satu tahun pada hari Selasa, 20 Oktober besok.
Sehari menjelang, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KontraS) memberikan rapor merah setahun rezim Jokowi - Maruf.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mengatakan, setahun kepemimpinan Jokowi - Maruf justru menghasilkan resesi atau kemunduran demokrasi.
Ia mengatakan, resesi bukan hanya terjadi pada sektor perekonomian, tetapi juga terhadap pembangunan demokrasi Tanah Air pascareformasi.
Baca Juga: Setahun di Periode Kedua, Jokowi Diminta Harmoniskan Hubungan Para Menteri
Resesi demokrasi disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari penyempitan ruang berpendapat milik masyarakat sipil, hingga kekerasan yang kerap dilakukan oleh aparat keamanan.
"Secara umum KontraS memandang demokrasi di Indonesia mengalami resesi atau penurunan. Jadi tidak hanya resesi ekonomi tapi resesi demokrasi pun terjadi di Indonesia," kata Fatia dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Senin (19/10/2020).
Resesi demokrasi dibuktikan oleh hasil economic information index, yang menunjukkan Indonesia mengalami penurunan demokrasi sepersekian persen dikarenakan adanya beberapa situasi.
Kemudian juga menurut catatan Freedom House dikatakan kebebasan berekspresi di Indonesia mengalami penurunan.
Itu disebabkan banyaknya pembungkaman, pengaduan kebijakan dan juga situasi yang menyebabkan represifitas aparat.
Baca Juga: Antisipasi Demo 1 Tahun Jokowi - Ma'ruf, Aksi Dipusatkan di Patung Kuda
"Penurunan terhadap kondisi demokrasi ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa aspek diantaranya penyempitan ruang masyarakat sipil yang seperti saya sebutkan, lalu pola yang berulang terkait soal budaya kekerasan dan pelibatan aparat keamanan," ungkapnya.
Selain itu, ada pula soal pelibatan pertahanan dan intelijen pada urusan-urusan sipil khususnya di era pandemi covid-19 serta pengabaian penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dan minimnya partisipasi dalam implementasi proses demokrasi dan substansi.
"Kita melihat bahwa ada beberapa penempatan aktor keamanan seperti TNI, polisi, dan badan intelijen negara dalam penanganan pandemi yang sebenarnya tidak tepat guna dan sebenarnya tidak juga membuktikan bahwa angka penyebaran dari covid-19 ini bisa tereduksi di Indonesia," tutur Fatia.