Bagaimana Medsos Memainkan Peran Penting dalam Protes Thailand?

Senin, 19 Oktober 2020 | 15:03 WIB
Bagaimana Medsos Memainkan Peran Penting dalam Protes Thailand?
DW
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Internet dan media sosial memainkan peran penting dalam gerakan protes di Thailand. Tapi ilmuwan politik memperingatkan bahwa kesuksesan di media sosial tidak serta merta sukses secara politik. Protes anti-pemerintah terus berlanjut selama berhari-hari di Thailand.

Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, serta menuntut konstitusi baru dan reformasi monarki.

Pada Kamis (15/10) lalu, pemerintah Thailand pun mengumumkan dekrit darurat di Bangkok. Salah satu implikasi dekrit darurat adalah ancaman dua tahun penjara bagi yang mengunggah selfie terkait unjuk rasa.

Ini menunjukkan betapa pemerintah begitu erat pada media sosial. Padahal, gerakan protes Thailand ini dimulai dari internet. Contoh yang menonjol adalah grup Facebook "Royalist Marketplace", yang dimulai pada April 2020 oleh akedemisi sekaligus krtikus monarki Thailand Pavin Chachavalpongpun, yang kini tinggal di Jepang.

Pavin memanfaatkan media sosial sebagai saluran satir untuk memposting iklan penjualan fiktif yang berkaitan pada keluarga kerajaan. Misalnya, ada iklan penjualan tempat tidur jati tempat Raja Ananda ditembak pada tahun 1946 dalam keadaan yang masih belum dapat dijelaskan.

Pavin menciptakan "gaya komunikasi politik" yang berbeda, yakni menggabungkan "meme, TikTok, dan video YouTube dengan debat politik yang serius". Demikian seperti yang ditulis oleh ilmuwan politik Wolfram Schaffar dalam wawancaranya dengan Pavin untuk surat kabar Blickwechsel dari Asienhaus Foundation. Penampilan Pavin yang mencolok dengan rambut warna-warni, bulu mata panjang, dan pakaian yang menonjol menimbulkan kegemparan.

Gaya seperti itu sangat bertentangan dengan gaya budaya bela diri militer Thailand. Dalam beberapa minggu, grup Facebook Pavin dan pengguna media sosial lainnya tersebut memiliki lebih dari satu juta anggota. Hal itu menjadikannya salah satu dari 20 grup Facebook terbesar di seluruh dunia.

Elemen budaya pop dalam gerakan protes Ketika protes anti-pemerintah dan monarki pertama kali muncul pada musim panas, spanduk dengan logo "Royalist Marketplace" dipajang di beberapa tempat. Gerakan tersebut berawal dari media sosial hingga ke jalanan.

Sejak awal, para demonstran memasukkan berbagai elemen budaya pop dalam protes mereka, seperti salam tiga jari dari film “The Hunger Games”, yang menggambarkan pemberontakan melawan rezim diktator. Para demonstran juga berpakaian seperti Harry Potter atau Hamtaro, hamster yang dalam cerita manga hanya berpetualang sehari-hari dan pada dasarnya tidak berbahaya.

Baca Juga: Direpresi, Demonstran Thailand Bersumpah akan Tetap Turun ke Jalan

Selain itu, para penggemar grup K-Pop juga melakukan penggalangan dana di media sosial untuk gerakan protes. Ada juga gerakan balasan, seperti grup Facebook "Garbage Collectors", yang didirikan oleh royalis konservatif Rienthong Nanna.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI