Suara.com - Internet dan media sosial memainkan peran penting dalam gerakan protes di Thailand. Tapi ilmuwan politik memperingatkan bahwa kesuksesan di media sosial tidak serta merta sukses secara politik. Protes anti-pemerintah terus berlanjut selama berhari-hari di Thailand.
Para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, serta menuntut konstitusi baru dan reformasi monarki.
Pada Kamis (15/10) lalu, pemerintah Thailand pun mengumumkan dekrit darurat di Bangkok. Salah satu implikasi dekrit darurat adalah ancaman dua tahun penjara bagi yang mengunggah selfie terkait unjuk rasa.
Ini menunjukkan betapa pemerintah begitu erat pada media sosial. Padahal, gerakan protes Thailand ini dimulai dari internet. Contoh yang menonjol adalah grup Facebook "Royalist Marketplace", yang dimulai pada April 2020 oleh akedemisi sekaligus krtikus monarki Thailand Pavin Chachavalpongpun, yang kini tinggal di Jepang.
Baca Juga: Direpresi, Demonstran Thailand Bersumpah akan Tetap Turun ke Jalan
Pavin memanfaatkan media sosial sebagai saluran satir untuk memposting iklan penjualan fiktif yang berkaitan pada keluarga kerajaan. Misalnya, ada iklan penjualan tempat tidur jati tempat Raja Ananda ditembak pada tahun 1946 dalam keadaan yang masih belum dapat dijelaskan.
Pavin menciptakan "gaya komunikasi politik" yang berbeda, yakni menggabungkan "meme, TikTok, dan video YouTube dengan debat politik yang serius". Demikian seperti yang ditulis oleh ilmuwan politik Wolfram Schaffar dalam wawancaranya dengan Pavin untuk surat kabar Blickwechsel dari Asienhaus Foundation. Penampilan Pavin yang mencolok dengan rambut warna-warni, bulu mata panjang, dan pakaian yang menonjol menimbulkan kegemparan.
Gaya seperti itu sangat bertentangan dengan gaya budaya bela diri militer Thailand. Dalam beberapa minggu, grup Facebook Pavin dan pengguna media sosial lainnya tersebut memiliki lebih dari satu juta anggota. Hal itu menjadikannya salah satu dari 20 grup Facebook terbesar di seluruh dunia.
Elemen budaya pop dalam gerakan protes Ketika protes anti-pemerintah dan monarki pertama kali muncul pada musim panas, spanduk dengan logo "Royalist Marketplace" dipajang di beberapa tempat. Gerakan tersebut berawal dari media sosial hingga ke jalanan.
Sejak awal, para demonstran memasukkan berbagai elemen budaya pop dalam protes mereka, seperti salam tiga jari dari film “The Hunger Games”, yang menggambarkan pemberontakan melawan rezim diktator. Para demonstran juga berpakaian seperti Harry Potter atau Hamtaro, hamster yang dalam cerita manga hanya berpetualang sehari-hari dan pada dasarnya tidak berbahaya.
Baca Juga: Change.org Diblokir Karena Petisi yang Tuntut Jerman Usir Raja Thailand
Selain itu, para penggemar grup K-Pop juga melakukan penggalangan dana di media sosial untuk gerakan protes. Ada juga gerakan balasan, seperti grup Facebook "Garbage Collectors", yang didirikan oleh royalis konservatif Rienthong Nanna.
Tujuan yang dideklarasikan kelompok tersebut adalah untuk “membersihkan” masyarakat dari "sampah sosial", yaitu orang-orang yang mengkritik nilai-nilai Thailand. Para pemrotes menanggap nilai-nilai pemerintahan Thailand seperti kepatuhan pada orang tua dan mengabdi kepada monarki. Namun, "Royalist Marketplace" jauh lebih sukses daripada "Garbage Collectors", yang hanya memiliki 300.000 pengikut. Dalam wawancaranya dengan Blickwechsel, Pavin berargumen bahwa kaum royalis tidak memahami media sosial sebaik ia dan anak muda lainnya. "Dengan kata lain: Pemerintah kalah dalam 'pertarungan' saat ini karena mereka tidak mengikuti teknologi baru," katanya.
Sayangnya, platform media sosial juga menjadi perdebatan. Facebook tunduk pada perintah pemerintah Thailand pada 24 Agustus, dan memblokir halaman "Royalist Marketplace". Namun, setelah internasional mengecam, Facebook mengumumkan akan mengambil tindakan hukum terhadap perintah pemerintah Thailand. Setelahnya, Pavin kembali mendirikan grup Facebook baru dengan nama yang mirip. Hanya dalam empat minggu, grup itu telah memiliki lebih dari 1 juta anggota.
Pada awal Oktober, Twitter menutup hampir 1.000 akun yang berkaitan dengan Tentara Kerajaan Thailand karena dianggap bertanggung jawab atas propaganda dan informasi yang salah. "Akun-akun ini mendistribusikan konten untuk mendukung tentara dan pemerintah serta menargetkan lawan politik terkemuka," kata sebuah blog Twitter.
Pada bulan Mei, pemerintah Thailand memblokir situs change.org setelah muncul petisi agar Raja Thailand Rama X dinyatakan sebagai persona non grata di Jerman. Raja memang menghabiskan banyak waktu di Jerman selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Warga Thailand geram dengan sikap Raja yang dianggap tidak menunjukkan solidaritas dengan rakyatnya karena menghambur-hamburkan uang di Jerman, di saat negaranya tengah menderita kemerosotan ekonomi. Kesuksesan yang tidak pasti Seberapa besar pengaruh perdebatan politik di media sosial terhadap kondisi politik suatu negara disebut masih kontroversial.
Pelopor dan kritikus internet Jaron Lanier, dalam bukunya berjudul “Sepuluh Alasan untuk Menghapus Akun Media Sosial Anda Saat Ini”, memperingatkan bahwa kesuksesan di media sosial tidak serta merta sukses secara politik. Salah satu alasannya karena media sosial menciptakan ilusi: bahwa sukses di media sosial sama saja dengan sukses mengubah keseimbangan kekuasaan politik yang sebenarnya. Namun, menurut Lanier tidak demikian. Menurutnya, media sosial pada dasarnya terpolarisasi.
Mereka memperburuk konflik dan mencegah diferensiasi karena informasi sepihak dan provokatif tersebar lebih luas. Pengguna media sosial menghabiskan lebih banyak waktu berselancar di berbagai platform. Hal ini sejalan dengan tujuan perusahaan yang hanya mengejar kepentingan ekonomi. Ini menjadi masalah di negara seperti Thailand, yang keadaan politiknya tidak stabil selama beberapa dekade karena perpecahan dan polarisasi berkelanjutan.
Penerapan dekrit darurat, hingga tindakan keras aparat keamanan terhadap para pemrotes pada Sabtu (17/10) membuktikan bahwa bentrokan menjadi lebih keras. "Revolusi atau perubahan sosial yang luas membutuhkan lebih banyak prasyarat sosial dan politik daripada hanya struktur media partisipatif," tulis ilmuwan komunikasi Martin Emmer dari Free University of Berlin, dalam sebuah esai tentang "Media sosial dalam komunikasi politik."
Pada saat yang sama, Emmer menunjukkan bahwa interaksi antara media sosial dan politik masih sangat baru, sehingga keputusan politik yang pasti hampir tidak mungkin terjadi. (pkp/rap)