Suara.com - Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) telah menyiapkan langkah lanjutan terkait penangkapan dan penahanan sejumlah aktivis KAMI yang dituding menyebarkan ujaran kebencian dan melakukan penghasutan terkait demo menolak UU Omnibus Cipta Kerja.
Ketua Komite Eksekutif KAMI, Ahmad Yani, mengatakan penangkapan dan penahanan sejumlah Aktivis KAMI dinilai janggal. Menurutnya, KAMI akan melapor kejanggalan tersebut ke beberapa institusi hingga mengajukan praperadilan.
"Ya tentunya kita ada hal-hal yang kita anggap pelanggaran HAM mungkin institusi untuk melaporkan pelanggaran ke Komnas HAM, ada pelanggaran prosedural ada juga kita melapor ke Kompolnas. Dan mungkin tindakan judicialnya mengajukan praperadilan," kata Yani saat dihubungi Suara.com, Senin (19/10/2020).
Yani menuturkan, saat ini pihaknya tengah mengumpulkan bahan-bahan untuk persiapan mengajukan praperadilan.
Baca Juga: Pendemo UU Cipta Kerja Disebut Klaster Covid-19, KSPI: Ada yang Janggal
"Sudah dipersiapkan dan sudah kita pikirkan kumpulkan bahan-bahan dan lain sebagainya," ungkapnya.
Lebih lanjut, upaya pelaporan hingga pengajuan praperadilan saat ini tinggal menunggu tanda tangan dari Syahganda Cs. Pasalnya, Yani mengklaim hingga kini mereka masih belum bisa dibesuk.
"Tinggal minta persetujuan dari pak Syahganda. Ini kita belum bisa ketemu ini pak Syahganda Jumhur dan pak Anton," tandasnya.
Tanggapan KAMI
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) buka suara ihwal delapan petingginya yang ditangkap polisi. Pernyataan itu dimuat dalam keterangan tertulis yang mengatasnamakan Presidium KAMI.
Baca Juga: 131 Orang Jadi Tersangka Demo Ricuh di Jakarta, 69 Sudah Ditahan
Dalam keterangannya, turut terdapat tanda tangan dari Gatot Nurmantyo, Din Syamsudin dan Rochmat Wahab. Ada tujuh butir pernyataan dari Presidium KAMI menanggapi penangkapan sejunlah petinggi mereka.
Pertama, KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat. KAMI menilai penangkapan delapan petinggi, khususnya Syahganda Nainggolan, aneh, tidak lazim dan menyalahi aturan.
Hal itu berdasarkan dilihat dari dimensi waktu, dasar Laporan Polisi tanggal 12 Oktober 2020 dan keluarnya sprindik tangal 13 Oktober 2020 dan penangkapan dilakukan beberapa jam kemudian, pada hari yang sama.
"Lebih lagi jika dikaitkan dengan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor 21/PUI-XII /2014, tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa "dapat menimbulkan" maka penangkapan para Tokoh KAMI, patut diyakini mengandung tujuan politis, dengan mengunakan Istrumen hukum," tulis KAMI dikutip Suara.com, Rabu (14/10/2020).
Kedua, KAMI memandang pengumuman pers Mabes Polri oleh Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono tentang penangkapan para petinggi KAMI mengandung nuansa pembentukan opini (framing), Polri dinilai melakukan generalisasi dengan penisbatan kelembagaan yang bersifat tendensius dan keterangan pers Porli dirasa bersifat prematur, yaitu mengungkapkan kesimpulan dari proses pemeriksaan yang masih berlangsung.
"Tiga. Semua hal di atas, termasuk membuka nama dan identitas seseorang yang ditangkap, menunjukkan bahwa Polri tidak menegakkan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang seyogya harus diindahkan oleh lembaga penegak hukum/Polri," tulis KAMI.
Keempat, KAMI menegaskan bahwa ada indikasi kuat handphone beberapa tokoh KAMI dalam hari-hari terakhir telah diretas atau dikendalikan oleh pihak tertentu.
Kelima, KAMI menyatakan menolak secara kategoris penisbatan atau pengaitan tindakan anarkis dalam unjuk rasa kaum buruh, mahasiswa dan pelajar dengan organisasi KAMI. Meski mendukung aksi buruh dalam mogok nasional dan unjuk rasa, namun KAMI menegaskan belum ikut serta secara lembaga. Hanya saja, KAMI memberi kebebasan kepada para pendukung untuk bergabung dan membantu pengunjuk rasa atas dasar kemanusiaan.