Suara.com - Ribuan anak muda di Thailand menentang pemerintah, turun ke jalan, dan menyerukan perubahan dalam sejumlah aksi protes pro-demokrasi. Demonstrasi ini merupakan aksi terbesar yang pernah terjadi di negara itu sejak beberapa tahun terakhir.
Pemberlakuan dekrit darurat yang melarang demonstrasi semacam itu telah dikeluarkan oleh pemerintah Thailand sebagai upaya untuk menekan demonstrasi yang sebagian besar berjalan damai dengan menjadikan monarki sebagai target.
Meskipun demikian, gerakan demokrasi yang dipimpin mahasiswa terus berlanjut, menyebabkan banyak penangkapan.
Apa yang sebenarnya melatarbelakangi gerakan baru yang dipimpin oleh kaum muda Thailand ini?
Baca Juga: Direpresi, Demonstran Thailand Bersumpah akan Tetap Turun ke Jalan
Apa yang terjadi?
Gerakan pro-demokrasi yang berkembang menyerukan pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha - mantan panglima militer yang merebut kekuasaan dalam kudeta pada tahun 2014 dan kemudian diangkat menjadi perdana menteri setelah pemilihan kontroversial tahun lalu.
Dikecewakan oleh pemerintahan militer selama bertahun-tahun, pengunjuk rasa menuntut amandemen konstitusi, pemilihan baru, dan diakhirinya pelecehan terhadap aktivis hak asasi dan pengkritik negara.
Mereka juga menyerukan pembatasan kekuasaan raja - tuntutan yang telah menyebabkan diskusi publik yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengingat institusi ini telah lama terlindung dari kritik hukum.
Hukum lese-majeste Thailand, yang melarang penghinaan terhadap monarki, termasuk yang paling ketat di dunia. Mereka yang dinyatakan bersalah karena melanggar peraturan ini akan menghadapi hukuman 15 tahun penjara. Kritikus mengatakan hal itu digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat.
- Thailand umumkan dekrit darurat, 'melarang kerumunan, media dibatasi' menyusul protes 'hadang' kendaraan raja
- Lese Majeste, 'pasal pelindung' keluarga Kerajaan Thailand
Dalam upaya untuk "menjaga perdamaian dan ketertiban", pemerintah Thailand telah mengeluarkan dekrit darurat yang melarang pertemuan besar, membatasi kelompok maksimal empat orang.
Baca Juga: Change.org Diblokir Karena Petisi yang Tuntut Jerman Usir Raja Thailand
Namun pengunjuk rasa, sejak dekrit dikeluarkan, berbaris menentang larangan tersebut. Ratusan orang turun ke jalan di ibu kota Bangkok, beberapa menyasar kantor perdana menteri. Pemerintah menanggapi dengan mengerahkan polisi anti huru hara.
Di antara mereka yang ditangkap dalam demonstrasi terakhir adalah tiga orang pemimpin aksi protes: pengacara hak asasi manusia Anon Nampa, aktivis mahasiswa Parit Chiwarak yang dikenal dengan nama panggilan "Penguin", dan mahasiswi Panusaya Sithijirawattanakul.
Anon, 36 tahun, adalah orang pertama yang secara terbuka melanggar tabu, membahas monarki Thailand dengan menyerukan reformasi pada Agustus. Panusaya menjadi salah satu wajah aksi protes yang paling menonjol setelah mahasiswi ini menyampaikan 10 poin manifesto yang mendesak reformasi kerajaan pada akhir bulan itu.
Anon dan "Penguin" telah ditangkap sebelumnya. Tapi Panusaya, 21, baru kali ini ditangkap. Ia dibawa pergi dengan kursi roda sambil memberi salam tiga jari.
Salam hormat tiga jari diambil dari film Hunger Games, di mana itu adalah simbol pembangkangan terhadap negara otoriter.
Tidak seperti konflik sebelumnya, yakni antara Kaos Merah dan Kuning - pendukung faksi politik yang berlawanan di Thailand - konflik kali ini terjadi antara generasi tua dan muda.
Bagaimana aksi protes besar-besaran ini berawal?
Thailand memiliki sejarah panjang kerusuhan dan protes politik, tetapi gelombang baru dimulai pada bulan Februari, setelah partai politik oposisi yang populer diperintahkan untuk dibubarkan.
Perintah ini menyusul pemilihan umum pada Maret tahun lalu - yang pertama sejak militer merebut kekuasaan pada 2014. Bagi banyak anak muda dan pemilih pemula, hal ini merupakan peluang untuk perubahan setelah bertahun-tahun berada di bawah pemerintahan militer.
Namun pihak militer telah mengambil langkah-langkah untuk memperkuat peran politiknya, dan pemilihan menghasilkan Prayuth Chan-ocha - pemimpin militer yang memimpin kudeta - dilantik kembali sebagai perdana menteri.
Future Forward Party (FFP), partai pro-demokrasi, dengan pemimpin karismatiknya Thanathorn Juangroongruangkit, memperoleh jatah kursi terbesar ketiga dan sangat populer di kalangan muda, pemilih pemula.
Namun pada Februari, pengadilan memutuskan bahwa FFP terbukti telah menerima pinjaman dari Thanathorn yang dianggap sebagai sumbangan - sehingga menjadikannya ilegal - dan partai tersebut terpaksa bubar.
Ribuan orang kemudian berpartisipasi dalam aksi turun ke jalan. Namun, aksi ini kemudian dihentikan oleh pembatasan dalam situasi pandemi Covid-19, yang secara teknis melarang pertemuan di bawah keadaan darurat virus corona di Thailand. Melanggar larangan tersebut dapat mengakibatkan hukuman penjara dua tahun.
Keadaan kembali memanas pada bulan Juni ketika seorang aktivis pro-demokrasi terkemuka hilang.
Wanchalearm Satsaksit, yang telah tinggal di Kamboja dalam pengasingan sejak 2014, dilaporkan diculik dari jalan dan dimasukkan ke dalam kendaraan.
Para pengunjuk rasa menuduh Thailand mengatur penculikannya. Tuduhan ini dibantah oleh polisi dan pemerintah.
Dalam beberapa bulan terakhir aksi mereka meluas pada seruan pembatasan kekuasaan Raja Vajiralongkorn, yang sekarang menghabiskan sebagian besar waktunya di luar negeri.
Para pengunjuk rasa menentang keputusan raja yang mengalihkan semua kepemilikan di Biro Properti Mahkota ke kepemilikan pribadinya, yang menjadikannya orang terkaya di Thailand. Kekayaan itu hingga kini secara sengaja disimpan dalam kepercayaan untuk kemaslahatan rakyat.
Ada juga pertanyaan tentang keputusannya untuk mengambil komando pribadi dari semua unit militer yang berbasis di Bangkok - konsentrasi kekuatan militer di tangan kerajaan- yang belum pernah terjadi sebelumnya di era Thailand yang modern.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Kemampuan gerakan untuk terus mengumpulkan massa dalam demonstrasi besar-besaran yang terlihat dalam beberapa bulan terakhir akan menghadapi masa sulit menyusul tindakan keras bagi pertemuan publik, terutama dengan beberapa tokoh aktivis yang ditahan di luar Bangkok.
Namun, setidaknya satu orang pemimpin mahasiswa telah bersumpah bahwa demonstrasi akan terus berlanjut. Dalam rekaman yang dibagikan secara luas di media sosial, Panusaya mengatakan dekrit darurat pemerintah harus diabaikan.
Dalam beberapa bulan terakhir, aksi berupa "flashmob" dalam skala kecil yang mudah diatur dan dapat dengan cepat dibubarkan telah dimobilisasi di kota-kota kecil, dengan dorongan dari media sosial.
Dan sekarang, orang-orang dari berbagai usia, dari semua bagian negara - selain pendukung monarki garis keras - tampaknya setuju dengan para tokoh mahasiswa bahwa monarki adalah sasaran dalam perbaikan institusi Thailand, kata koresponden BBC di Bangkok, Jonathan Head.
Hanya masalah waktu sebelum kita melihat lebih banyak protes serupa di Thailand, tambah koresponden kami.
Apakah demonstrasi akan memiliki dampak yang memadai untuk memaksa perubahan konstitusi, kita lihat bersama.