Nobel Kimia: Dua Perempuan Penemu Gunting Genetik yang Mencetak Sejarah

SiswantoBBC Suara.Com
Senin, 19 Oktober 2020 | 10:14 WIB
Nobel Kimia: Dua Perempuan Penemu Gunting Genetik yang Mencetak Sejarah
Peraih Nobel [BBC]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dua ilmuwan perempuan menerima Penghargaan Nobel Kimia 2020 atas penemuan teknologi untuk mengedit DNA.

Emmanuelle Charpentier dan Jennifer Doudna mencetak sejarah sebagai dua perempuan pertama yang mendapatkan hadiah Nobel, tanpa kolaborator laki-laki yang namanya turut dicantumkan dalam penghargaan tersebut.

Temuan mereka, dikenal sebagai "gunting genetik" Crispr-Cas9, adalah cara untuk membuat perubahan spesifik dan presisi pada DNA yang berada dalam sel hidup.

Mereka akan berbagi hadiah uang sebanyak 10 juta krona (sekitar Rp16,7 miliar).

Baca Juga: Dosen di Texas Jadi Perempuan Pertama yang Raih Nobel Matematika

Pakar Biokimia, Pernilla Wittung-Stafshede, berkomentar: "Kemampuan untuk memotong DNA di lokasi yang diinginkan telah merevolusi ilmu hayati."

Teknologi yang ditemukan kedua perempuan ini tidak hanya transformatif bagi riset dasar, tapi juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit turunan.

Prof. Charpentier, dari lembaga riset Max Planck Unit for the Science of Pathogens di Berlin, merasakan luapan emosi ketika mendapat kabar bahwa ia memenangkan hadiah Nobel.

"Ketika terjadi, saya sangat kaget, dan saya pikir ini tidak nyata. Tapi ini jelas nyata," ujarnya.

Soal menjadi salah satu dari dua perempuan yang berbagi hadiah itu, Prof. Charpentiere berkata: "Saya harap ini menjadi pesan positif terutama bagi anak-anak perempuan muda yang ingin menempuh jalur sains... dan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa perempuan dalam bidang sains juga bisa memberi dampak dengan riset yang mereka lakukan."

Baca Juga: Indonesia Butuh Ilmuwan Perempuan Lebih Banyak

Ia menambahkan: "Tapi bukan hanya bagi perempuan, kita melihat jelas ada kekurangan minat untuk menempuh jalur [karier] di bidang sains, yang sangat mengkhawatirkan."

Berawal dari penelitian bakteri

Ketika Prof. Charpentier mempelajari bakteri Streptococcus pyogenes, ia menemukan molekul yang sebelumnya tidak diketahui, disebut tracrRNA. Penelitiannya menunjukkan bahwa tracrRNA adalah bagian dari pertahanan sistem imun organisme itu.

Sistem ini, yang kemudian disebut Crispr-Cas, menghalau virus dengan memotong-motong DNA mereka - ibarat gunting genetik.

Prof. Charpentier menerbitkan hasil penelitian tersebut pada 2011; di tahun yang sama, ia mulai berkolaborasi dengan Prof. Doudna dari Universitas California, Berkeley.

Keduanya diperkenalkan oleh seorang kolega Doudna di sebuah kafe di Puerto Rico, tempat para ilmuwan menghadiri suatu konferensi.

Dan pada keesokan harinya, saat berjalan-jalan di ibu kota pulau itu, San Juan, Prof. Charpentier mengusulkan supaya mereka bekerja sama.

Bersama-sama, mereka membuat ulang 'gunting genetik' bakteri itu dalam tabung reaksi. Mereka juga menyederhanakan komponen molekulernya sehingga lebih mudah digunakan.

Dalam bentuk alaminya, gunting bakteri itu dapat mengenali DNA dari virus. Akan tetapi Charpentier dan Doudna menunjukkan bahwa ia bisa diprogram ulang untuk memotong molekul DNA apa saja pada bagian yang diinginkan.

Mereka mempublikasikan temuan ini dalam makalah tahun 2012 yang menjadi tonggak dalam ilmu genetika.

Terobosan teknologi pemotongan DNA ini memungkinkan "kode kehidupan" ditulis ulang.

Digunakan untuk terapi gen

Sejak kedua ilmuwan mengembangkan gunting genetik Crispr-Cas9, telah banyak peneliti yang menggunakannya. Alat ini telah berkontribusi pada banyak penemuan penting dalam riset dasar; dan, di bidang pengobatan, digunakan untuk mengembangkan berbagai terapi kanker baru yang banyak di antaranya kini sedang dalam uji klinis.

Menurut pakar genetika molekuler Teguh Haryo Sasongko, Crispr-Cas9 bukan satu-satunya metode pengeditan gen, namun ia paling efisien dari segi biaya.

Associate Professor di Perdana University RCSI School of Medicine itu menjelaskan, Crispr-Cas9 digunakan terutama untuk mengobati penyakit turunan atau penyakit lainnya yang diakibatkan oleh kerusakan gen, misalnya kanker. "Kerusakan gen-gennya itu bisa diperbaiki dengan melakukan editing," ujarnya.

Saat ini, ia sedang diteliti sebagai kemungkinan cara untuk mengobati anemia sel sabit (sickle cell anaemia) dan thalasemia, kelainan darah yang dialami jutaan orang di seluruh dunia, dan Duchenne muscular dystrophy, kelainan yang menyebabkan degenerasi otot.

Salah satu aplikasi teranyar dari teknik ini ialah sebagai alat diagnostik rapid test untuk Covid-19. Alat ini telah mendapat persetujuan dari Badan POM Amerika Serikat (FDA) untuk digunakan dalam situasi darurat.'

Bagaimanapun, hampir semua terapi gen yang menggunakan Crispr-Cas9 saat ini masih dalam tahap uji klinis. Itu karena menggunting DNA hanyalah satu bagian dalam penyuntingan gen, kata Rio Hermantara, kandidat PhD di University of Glasgow, yang menggunakan Crispr-Cas9 dalam penelitiannya.

Ia menjelaskan bahwa mengatur supaya sel bisa memperbaiki sekuens DNA yang telah terpotong itu, dengan cara yang memberikan hasil yang diinginkan, adalah bagian rumitnya.

"Karena kompleksitas itulah, sampai saat ini aplikasi genome editing belum sampai ke suatu produk akhir, produk komersial," ujar Rio.

Persoalan etika

Namun tanpa regulasi yang ketat, beberapa orang khawatir Crispr juga bisa digunakan untuk menciptakan bayi hasil rekayasa genetika atau "designer babies", yang memunculkan setumpuk persoalan etika. Jika seorang anak hasil rekayasa genetika tumbuh dewasa dan punya anak, perubahan apapun pada genomnya bisa diwariskan ke generasi berikutnya - memberikan perubahan jangka panjang pada populasi manusia.

Tahun lalu, ilmuwan China He Jiankui dijatuhi hukuman penjara tiga tahun setelah menciptakan bayi manusia hasil penyuntingan gen pertama di dunia. Ia dinyatakan melanggar larangan pemerintah dengan melakukan eksperimen pada embrio manusia, dalam upaya memberi mereka perlindungan dari HIV.

Pakar genetika molekuler Teguh Haryo Sasongko menjelaskan, aplikasi Crispr-Cas9 selama ini untuk merawat penyakit genetik hanya melibatkan satu gen, sedangkan pembuatan "designer baby" melibatkan pengeditan banyak gen yang hasilnya belum bisa dikontrol.

Sejumlah otoritas ilmiah di dunia membolehkan aplikasi CRISPR-Cas9 pada embrio manusia, namun hanya untuk keperluan riset dasar dan dibatasi hanya sampai tahap morula (tahap perkembangan awal) setelah itu tidak boleh dikembangkan menjadi janin, kata Teguh.

"Kita tidak bisa menjamin bayi yang dilahirkan dari eksperimen Crispr ini akan menjadi bayi yang sehat atau bayi yang lumpuh atau bayi yang bentuknya seperti apa... kita enggak tahu. Itu di luar kontrol manusia," ujarnya.

"Kita belum bisa mengontrol kalau gen itu diedit betul, berbagai macam tempat gen itu diedit betul, itu dia akan lahir, keluar manusia yang sempurna. Kita tidak punya kemampuan sampai situ. Hanya eksperimen yang bisa membuktikannya."

Jadi subyek perseteruan paten

Awalnya, hadiah Nobel untuk sains revolusioner ini dikira tidak akan diberikan selama bertahun-tahun karena teknik ini juga menjadi subyek perseteruan paten di AS.

Perseteruan itu melibatkan tim riset Charpentier dan Doudna di University of California, Berkeley, dan tim riset di Broad Institute milik MIT dan Harvard di Cambridge, Massachusetts.

Perdebatan berpusat pada penggunaan teknik Crispr dalam sel eukaryot - sel yang membundel DNA-nya di dalam nukleus (inti sel). Dalam jenis sel itulah, yang terdapat pada hewan tingkat tinggi, penerapan teknik ini berpotensi paling menguntungkan di masa depan.

Dua institusi yang berselisih itu mengklaim bahwa ilmuwan merekalah yang membuat kemajuan krusial dan paling relevan.

Emmanuelle Charpentier lahir pada tahun 1968 di Juvisy-sur-Orge, Prancis. Ia mendapatkan gelar PhD di Institut Pasteur, Paris, kemudian bekerja di berbagai institusi sains di AS, Austria, Swedia, dan Jerman - selain di negara asalnya Prancis.

Jennifer Doudna lahir pada tahun 1964 di Washington, DC tapi menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Hilo, Hawaii. Ia dianugerahi gelar PhD oleh Sekolah Kedokteran Harvard.

Tahun ini adalah pertama kalinya penghargaan untuk sains diberikan kepada dua perempuan tanpa kolaborator laki-laki yang namanya turut dicantumkan dalam penghargaan tersebut.

Industrialis dan kimiawan asal Swedia Alfred Nobel mendirikan penghargaan ini dalam surat wasiatnya, yang ditulis pada 1895 - satu tahun sebelum kematiannya.


Peliputan tambahan oleh Pijar Anugerah, BBC News Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI