Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai bahwa pembahasan hingga pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja merupakan praktik yang sangat buruk dilakukan DPR pasca reformasi. Proses legislasi UU Cipta Kerja dinilai cacat.
"Apakah, mengubah-ubah naskah dan tidak ada informasi dan sebagainya melanggar hukum tata negara? Secara prosedural, iya. Secara prinsip melanggar juga. Ini praktik yang sangat buruk. Dalam catatan kami bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini, terutama pasca reformasi," kata Bivitri dalam sebuah diskusi daring bertema 'omnibus law dan aspirasi publik', Sabtu (17/10/2020).
Bivitri mengungkapkan, bahwa naskah lengkap atau draft final UU Ciptaker sejak pengesahan Tingkat I seharusnya sudah ada. Namun, hingga UU itu akhirnya disahkan draftnya masih berubah-ubah seperti misalnya jumlah halamannya.
"Seharusnya naskah final sudah ada. Itu kelaziman dan diatur dalam undang-undang. Jadi biasanya pembahasan UU dari Panja, tim perumus, lalu keputusan tingkat I, dan keputusan tingkat II. Di tingkat I itu harusnya ada naskah lengkapnya," ungkapnya.
Baca Juga: Istana Sebut Kisruh Omnibus Law Karena Publik Lebih Percaya Medsos
Selanjutnya, Bivitri juga menyoroti soal adanya pembahasan dan pengesahan yang terkesan terburu-buru soal UU Ciptaker. Menurutnya, hal itu juga telah menyalahi prosedur.
"Jadi tanggal 3 itu dikebut, tentu saja belum siap. Jarak antara persetujuan-persetujuan itu, sampai di tingkat I, itu sekitar 2 jam saja. Jadi terang saja kelaziman dan peraturan yang diterapkan yang harusnya ada di tingkat I tidak bisa diraih. Nah Senin 5 Oktober, jadi tidak ada naskah sebenarnya yang betul-betul final. Dari draf yang berbeda-beda, saya menelusuri bahkan ada substansi yang berbeda," tuturnya.
Lebih lanjut, Bivitri meminta DPR tidak hanya mengetuk palu untuk mengesahkan UU hanya sekedar seremoni. Tapi hal itu merupakan wujud kesepakatan bersama.
"Kalau cuma dipandang ketok saja untuk mendahului rencana buruh demonstrasi, sehingga dimajukan ke tanggal 5, ini jelas melanggar moralitas demokrasi kita," tandasnya.
Sebelumnya, DPR dan pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan pada Senin (5/10/2020) lalu.
Baca Juga: Bank Dunia Respon Positif Omnibus Law, Veronica Koman: Harus Ditolak
Keputusan ini disetujui oleh tujuh dari sembilan fraksi, mereka yang setuju antara lain PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP. Sementara dua fraksi yang menolak adalah Demokrat dan PKS.
Pengesahan UU Cipta Kerja ini juga mengundang reaksi keras dengan gelombang demonstrasi dari masyarakat sipil seperti mahasiswa, masyarakat adat, kelas pekerja, para guru, hingga tokoh agama.