Suara.com - UU Omnibus Law Cipta Kerja masih menuai pro dan kontra. Pasalnya, UU ini dinilai menyalahi prosedur yang ada lantaran drafnya terus berubah-ubah padahal sudah disahkan di dalam sidang paripurna.
Seperti diketahui, setidaknya ada lima draf UU Omnibus Law Cipta Kerja yang diperoleh publik.
Draf UU Omnibus Law Cipta Kerja pertama kali diunggah dalam laman DPR pada Maret 2020. Kala itu, jumlah halamannya sebanyak 1.028 halaman.
Sementara versi kedua draf UU Omnibus Law Cipta Kerja baru beredar pada 5 Oktober 2020 lalu, sebelum pelaksanaan sidang paripurna. Adapun draf UU Omnibus Law Cipta Kerja saat itu berjumlah 905 halaman.
Baca Juga: Soal SKCK Anak SMK Demo Rusuh, Pengamat: Itu Hanya Shock Therapy Polisi..
Usai disahkan, ternyata masih ada perubahan. Pada 9 Oktober 2020 muncul versi 1.052 halaman. Tak hanya itu, pada 12 Oktober 2020 bahkan muncul dua draf dalam waktu hampir bersamaan, 1.035 halaman dan 812 halaman.
Namun, versi terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja diketahui memiliki 812 halaman.
Dilansir dari Hops.id -- Jaringan Suara.com, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ikut angkat bicara menyoroti draf UU Omnibus Law Cipta Kerja yang diketahui sering kali berubah ini.
Menurut Ketua YLBHI Asfinawati, seharusnya jika sudah masuk pada pengesahan dan pembahasan tingkat dua, tidak boleh ada lagi perubahan pada substansi. Sebab itu sudah menjadi ketentuan yang diatur di dalam undang-undang.
"Jadi kalau kita lihat UU MD3 itu, ada syarat-syarat bagaimana sesuatu itu menjadi undang-undang, melalui DIM Fraksi, pembahasan tingkat 1, pembahasan tingkat 2. Dan pembahasan tingkat 2, sesudah itu tidak boleh lagi ada perubahan substansial dong," ujar Asfinawati.
Baca Juga: Jelang Mahasiswa Geruduk Istana, Medan Merdeka Barat Ditutup Kawat Berduri
Menurutnya, jika masyarakat membandingkan pasal di dalam draf UU Omnibus Law Cipta Kerja yang berubah-ubah, tentu ada yang sulit untuk dimengerti. Takutnya akan ada celah mengubah substansi yang maknanya besar sekali.
"(Dari 905 menjadi 812) Itu ada perbedaan yang sangat mendasar. Misalnya di Ketenagakerjaan, Pasal 156 a itu, soal pesangon, dari yang paling banyak menjadi hilang. Itu kan maknanya besar sekali," imbuhnya.
Oleh sebab itu, YLBHI menduga ada kemungkinan penyelundupan kata-kata di draf UU Omnibus Law terbaru, sehingga wajar apabila banyak pihak menyangsikannya.
Lebih lanjut lagi, Asfinawati nampak bertanya siapa yang menggubah atau mengedit draf UU Omnibus Law Cipta.
"Ini siapa yang ngedit? Itu menghina seluruh anggota DPR," tandasnya keras.