Suara.com - Analis politik dan ekonomi Rustam Ibrahim menyebut aneh dan menyedihkan jika ada kaum intelektual ikut-ikutan seperti politikus membela hoaks, hinaan, ujaran kebencian sebagai "kritik."
Kritik, kata Rustam, adalah sesuatu yang lebih mulia. Dari asal katanya saja, kata dia, kritik berasal kata kritikos (Yunani) yang berarti kemampuan memberikan penilaian atau pertimbangan.
Melalui media sosial, Rustam menambahkan dalam dunia akademis kritik mendapatkan tempat terhormat. Ilmu pengetahuan berkembang berkat adanya kritik.
Makanya, kata dia, ada kritik ekonomi, kritik sastra, dan lain sebagainya. Politisi disebut Rustam telah mendegradasi kata kritik menjadi setiap ucapan atau tulisan kaum oposan kepada pemerintah.
Baca Juga: Usai Debat dengan Ulil Soal Revolusi, Rustam Kembali Didebat Partai Socmed
"Bagi saya aneh dan menyedihkan jika ada kaum intelektual yang membela hoax, kebohongan, hinaan, ujaran kebencian sebagai wujud kebebasan berekspresi. Bagi saya semuanya itu adalah wujud penyalahgunaan kebebasan berekspresi," kata dia.
Jika kaum intelektual mengkritik substansi Undang-Undang Ciptaker dengan argumen-argumennya, harus dihargai. Tapi jika kaum intelektual sekedar mengatakan UU Ciptaker sebagai UU Cilaka, produk iblis, kata Rustam, mereka telah menurunkan nilainya dari kaum intelektual menjadi politisi oposan atau haters biasa.
Bagi Rustam hoaks dan kebohongan bukanlah informasi, tapi disinformasi yang sengaja disemburkan untuk menyesatkan. "Media yang ikut-ikutan menyebarkan hoax sebagai informasi untuk kepentingan publik, ikut menyesatkan publik," kata Rustam.