Suara.com - Diundangnya Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto ke Pentagon, Amerika Serikat, menimbulkan reaksi dari banyak pihak, tak terkecuali media asing.
New York Times, media prestisius asal Amerika Serikat, menghubungkan kedatangan Prabowo ke Negeri Paman Sam, dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) era Orde Baru.
Sebelum mendapat undangan dari Menteri Pertahanan Mark T Esper untuk datang ke AS pekan ini, Prabowo sempat dilarang untuk menginjakan kaki di Negeri Paman Sam selama dua dekade terakhir.
Pria yang merupakan mantan menantu dari penguasa Orba Soeharto itu, diduga melakukan pelanggaran HAM berat saat masih berkarier di militer.
Baca Juga: Dollar AS Melempem, Harga Minyak Dunia Mulai Merangkak Naik
Namun, setelah menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, larangan itu telah dicabut.
“Larangan yang diterapkan Menteri Prabowo telah dicabut, dan dia akan mengunjungi AS untuk membahas kerja sama,” kata Irawan Ronodipuro, juru bicara Prabowo dikutip dari New York Times, Kamis (15/10/2020).
Mendengar terduga pelaku pelanggaran HAM berat diizinkan masuk AS, Amnesty International dan enam kelompok hak asasi manusia lainnya angkat suara.
Mereka meminta pemerintahan Donald Trump untuk membatalkan kunjungan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu dapat melanggar aturan Amerika Serikat sendiri.
AS diketahui memiliki aturan terkait masuknya orang-orang yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Baca Juga: Tifatul Tanya Prabowo: Info Demo Dibiayai Asing, Source-nya Darimana Pak?
Di samping itu, diperbolehkannya Prabowo Subianto menginjakkan kaki di AS, bahkan lewat undangan resmi, dipercaya akan merusak upaya masyarakat Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku pelanggaran HAM.
"Prabowo Subianto adalah mantan jenderal Indonesia yang telah dilarang, sejak 2000, memasuki AS, karena dugaan keterlibatan langsungnya dalam pelanggaran hak asasi manusia," kata kelompok itu dalam sebuah surat kepada Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.
Sebagai komandan pasukan khusus negara di bawah Suharto pada akhir 1990-an, Prabowo diberhentikan dari militer oleh panel jenderal.
Dia dituduh memerintahkan penculikan aktivis mahasiswa dalam upaya yang gagal untuk menjaga ayah mertuanya tetap berkuasa.
Prabowo juga dituduh melakukan kekejaman di Timor Timur, bekas provinsi yang memisahkan diri pada 1999 dan merdeka pada 2002.
Setelah Suharto lengser, mengakhiri lebih dari tiga dekade pemerintahan kleptokratis, Prabowo tanpa basa-basi diberhentikan dari tentara.
Dia dituduh berulang kali melanggar hukum, melanggar hak asasi manusia dan tidak mematuhi perintah.
Namun, seperti pejabat tinggi lainnya yang dituduh melakukan kekejaman dan pelanggaran hak, dia tidak pernah dituntut atau diadili.
Yang membuat kecewa para pembela hak asasi manusia, ia dan orang lain yang dituduh melakukan pelanggaran menerima jabatan penting dalam pemerintahan.
Prabowo, yang pernah melihat dirinya sebagai calon pengganti ayah mertuanya, melakukan empat upaya yang gagal untuk memenangkan pemilihan sebagai presiden Indonesia, yang terbaru pada tahun 2019.
Secara mengejutkan, presiden yang dua kali mengalahkannya, Joko Widodo, mengangkatnya menjadi menteri pertahanan setahun lalu.
Kurang dari dua bulan kemudian, Prabowo menyewa pelobi Washington, James N. Frinzi, untuk mewakilinya, sesuai dengan formulir yang diajukan oleh Mr. Frinzi berdasarkan Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing Amerika Serikat.
Dokumen tersebut tidak memberikan informasi tentang tujuan lobinya. Tahun ini, Pak Prabowo diam-diam menerima undangan dari Pak Esper, dan Kementerian Luar Negeri memberinya visa.
“Amerika adalah negara yang penting,” kata Prabowo sebelum keberangkatannya.
“Saya diundang. Saya harus memenuhi undangan itu."
Kelompok hak asasi manusia mempertanyakan apakah visa tersebut memberikan kekebalan kepada Prabowo di Amerika Serikat dan, jika demikian, mendesak agar itu dibatalkan.
Jika dia tidak menerima kekebalan, kata mereka, Amerika Serikat akan berkewajiban untuk menyelidiki apakah dia secara pidana bertanggung jawab atas penyiksaan dan mungkin membawanya ke pengadilan atau mengekstradisi dia.
“Kami mendesak Anda untuk mengklarifikasi bahwa visa yang dikeluarkan untuk Prabowo Subianto tidak memberikan kekebalan apapun kepadanya," kata kelompok itu dalam surat mereka kepada Pompeo.
"Dan untuk memastikan bahwa jika dia melakukan perjalanan ke AS, dia diselidiki dengan benar dan segera, dan jika ada cukup bukti, dibawa. ke pengadilan atas tuduhan tanggung jawabnya atas kejahatan di bawah hukum internasional."
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan, sebuah organisasi hak asasi manusia di Indonesia, menyatakan kekecewaannya dengan keputusan yang mengizinkan kunjungan Prabowo.
Mereka mengatakan hal itu akan menghambat upaya berkelanjutan untuk menjamin keadilan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia.
“Legitimasi oleh pemerintah Amerika Serikat ini membantu pemerintah Indonesia, dan terutama Prabowo sendiri, menghindari penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang melibatkan namanya,” kata ketua kelompok tersebut, Fatia Maulidiyanti.