Suara.com - Pengamat kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menyayangkan adanya pelajar yang menangis karena diolok-olok anggota polisi saat ditangkap karena terlibat demonstrasi menolak Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja.
Menurut Bambang, peristiwa tersebut menunjukkan perlu adanya pendidikan demokrasi di bagi anggota polisi.
"Perlu pendidikan demokrasi pada semua aparat kepolisian. Founding father maupun stake holder negara kami sepakat bahwa NKRI menganut sistem demokrasi Pancasila. Jangan sampai tindakan Polisi malah seolah anti demokrasi bahkan anti Pancasila," kata Bambang kepada Suara.com, Rabu (14/10/2020).
Bambang menilai tindakan perundungan terhadap anak yang diduga mengikuti aksi demonstrasi tidak lah dibenarkan. Apalagi, tindakan tersebut justru dilakukan oleh anggota polisi yang sudah semestinya mengerti norma dan hukum.

"Tindakan bullying bagi anak-anak terduga peserta unjuk rasa tentu saja tak bisa dibenarkan. Sekali lagi aksi unjuk rasa itu legal dan dilindungi undang-undang," ujarnya.
Bambang menyampaikan dukungannya terhadap aparat kepolisian untuk memproses demostran yang terbukti melakukan tindakan anarkis. Namun, tetap harus berdasar aturan hukum yang berlaku bukan dengan sewenang-wenangnya.
"Tak gampang memang, tapi itulah tantangan kita menuju demokrasi yang lebih baik ke depan," kata dia.
Polisi Bully Pelajar
Aksi bertajuk 1310 menolak Undang-Undang Omnibus Law - Cipta Kerja yang dimotori Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI, PA 212, FPI, hingga GNPF Ulama pada Selasa (13/10) menjelang petang berujung bentrokan.
Baca Juga: Pelajar Mulai Dipulangkan, Polda: Banyak Orang Tua Tak Tahu Anaknya Demo
Setelah bentrokan, aparat kepolisian menangkapi sejumlah remaja yang diduga masih berstatus pelajar.