Suara.com - Delapan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap pihak kepolisian. Presidium KAMI Gatot Nurmantyo menduga penangkapan anggotanya bernuansa politis.
Gatot selaku pimpinan KAMI sangat menyesalkan atas penangkapan anggotanya oleh pihak kepolisian. Menurutnya apa yang dilakukan polisi tidak mencerminkan fungsinya sebagai pelindung masyarakat.
"KAMI menyesalkan dan memprotes penangkapan tersebut sebagai tindakan represif dan tidak mencerminkan fungsi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat," kata Gatot dalam keterangan tertulisnya, Rabu (14/10/2020).
Gatot juga melihat penangkapan anggota KAMI yang tidak lazim. Ia mengambil salah satu contoh ketika Sekretaris Komite Eksekutif Syahganda Nainggolan ditangkap. Laporan polisi itu tertanggal 12 Oktober 2020 dan sprindik keluar sehari setelahnya.
Baca Juga: Diduga Diretas, Polisi Tahu Isi Percakapan Grup WA KAMI
Namun yang membuat dirinya aneh penangkapannya pun dilakukan beberapa jam setelah sprindik keluar. Syaganda ditangkap di rumahnya di kawasan Cimanggis, Depok sekitar pukul 04.00 WIB.
"Jelas aneh atau tidak lazim dan menyalahi prosedur," ujarnya.
Gatot juga menilai penangkapan kedelapan anggotanya itu politis. Hal itu disampaikannya apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP dan Putusan MK Nomor 21 21/PUI-XII /2014 tentang perlu adanya minimal dua barang bukti, dan UU ITE Pasal 45 terkait frasa 'dapat menimbulkan'.
"Maka penangkapan para tokoh KAMI, patut diyakini mengandung tujuan politis, dengan mengunakan instrumen hukum," ujarnya.
Karena itu pula Gatot meminta agar polisi membebaskan delapan anggota KAMI dibebaskan dari tuduhan menyebarkan ujaran kebencian sehingga dikaitkan dengan UU ITE.
Baca Juga: Sejumlah Pegiat KAMI Ditangkap, Mardani: Ini Ujian Bagi Demokrasi
"KAMI meminta Polri membebaskan para Tokoh KAMI dari tuduhan dikaitkan dengan penerapan UU ITE yang banyak mengandung 'pasal-pasal karet' dan patut dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi yang memberi kebebasan berbicara dan berpendapat kepada rakyat warga negara."
Delapan tokoh KAMI yang ditangkap polisi, yakni Juliana, Devi, Wahyu Rasari Putri, Khairi Amri, Kingkin Anida, Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan Jumhur Hidayat. Mereka ditangkap di Medan, Jakarta, Depok, dan Tangerang Selatan.
Lima orang di antaranya sudah ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan di rumah tahanan Bareskrim Polri. Mereka diduga melanggar Pasal 45 A ayat 2 UU RI Nomor 19 tahun 2016 tentang ITE dan atau Pasal 160 KUHP tentang penghasutan yang ancaman hukumannya mencapai enam tahun penjara.
Kuasa hukum Syahganda Nainggolan, Ahmad Yani, menegaskan KAMI siap untuk memberikan pendampingan dan bantuan hukum bagi para tokoh yang ditangkap polisi.
"KAMI siap untuk memberikan pendampingan, advokasi dan bantuan hukum untuk proses pemeriksaan," kata Ahmad di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, kemarin.
Menurut dia sudah banyak advokat yang ingin bergabung untuk membantu proses hukum para petinggi KAMI.
Dari delapan pegiat KAMI yang ditangkap, baru Syahganda yang resmi menunjuk Ahmad sebagai kuasa hukum (hingga kemarin).
Sementara anggota Komite Eksekutif KAMI Jumhur Hidayat dan deklarator KAMI Anton Permana belum menunjuk pengacara. Begitupun dengan empat pegiat KAMI yang ditangkap di Medan.