Suara.com - Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menilai penangkapan terhadap para pegiat Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI oleh aparat kepolisian pada hari Selasa (13/10/2020) merupakan ujian bagi demokrasi di Indonesia.
"Ini ujian bagi demorkasi. Semua penangkapan mesti didasari norma hukum yang tegas," kata Mardani kepada para jurnalis di Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Menurut anggota Fraksi PKS DPR ini, selama ini UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE sering dijadikan alat untuk menangkap seseorang. Padahal, kata dia, seharusnya didudukkan proporsinya sesuai dengan hak dasar kebebasan menyampaikan pendapat dan hak berserikat.
"PKS sudah menggagas agar ada revisi dalam pasal di UU ITE, khususnya yang sering dijadikan dasar penangkapan atau proses hukum berbasis postingan di media sosial," ujarnya.
Baca Juga: KAMI Dituding Dalangi Aksi Tolak Omnibus Law, Refly Harun: Keliru!
Dia menuturtkan, apakah peristiwa penangkapan terhadap aktivis KAMI merupakan sebuah tes terhadap organisasi tersebut atau kekuatan sipil lainnya, maka waktu yang akan menjawabnya.
Untuk saat ini, lanjut dia, kekuatan prodemorkasi seharusnya bersatu menjaga agar iklim kebebasan berpendapat tetap terjaga.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono memastikan penangkapan dan penahanan terhadap para pegiat KAMI berdasarkan bukti permulaan yang kuat.
Bukti itu berupa tangkapan layar percakapan grup aplikasi perpesanan WhatsApp, proposal hingga bukti unggahan di media sosial.
Menurut Awi, salah satu bukti yang paling mencolok adalah isi percakapan grup WA KAMI yang diduga ada upaya penghasutan.
Baca Juga: Ngabalin Lupa Pernah Ikut Demo Hingga Terlontar Ucapan Sampah Demokrasi
"Kalau rekan-rekan membaca WA-nya, ngeri. Pantas kalau di lapangan terjadi anarkis, itu mereka masyarakat yang tidak paham betul, gampang tersulut," ujar Awi di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (13/10).
Dari delapan pegiat KAMI yang ditangkap di Jakarta dan Medan, tidak semuanya tergabung dalam satu grup WhatsApp.
"Enggak, bukan tergabung (dalam satu grup). Semua akan di-profiling. Kasus per kasusnya di-profiling," kata Awi.
Ia pun belum mau membeberkan sejak kapan percakapan yang membahas penghasutan dengan ujaran kebencian bernuansa SARA itu dimulai. Pasalnya, hal tersebut sudah masuk dalam ranah penyidikan.
Awi hanya menerangkan bahwa tindakan penghasutan oleh para pegiat KAMI ini berkaitan dengan demo penolakan UU Cipta Kerja yang akhirnya berujung tindakan anarkis di berbagai kota besar di Indonesia. (Antara)