Suara.com - Filipina berencana menaikkan usia legal berhubungan seks dari 12 menjadi 16 tahun, merespon maraknya kasus pelecehan seksual terhadap anak.
Menyadur ABC News, Selasa (13/10/2020), aturan lama menganggap mereka yang berhubungan intim dengan anak-anak berusia 12 tahun, berdasarkan suka sama suka, tidak akan terkena jeratan hukum atau dianggap pemerkosa.
Undang-undang baru, yang digadang-gadang akan disahkan setelah diajukan ke sidang bikameral kongres pada November, akan memastikan setiap orang dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah 16 tahun, secara otomatis dinyatakan bersalah atas tindak pemerkosaan.
Pelaku tak bisa lagi mencari pembenaran menggunakan dalih si anak bersedia berhubungan seksual lantaran berlandaskan rasa suka sama suka atau mau sama mau.
Baca Juga: Rencanakan Bom Bunuh Diri, WNI Istri Terduga Teroris Ditangkap di Filipina
Kepala perlindungan anak di UNICEF, Patrizia Benvenuti, mengatakan reformasi hukum ini sangat mendesak. Sebab, tingkat kekerasan terhadap di Filipina tinggi.
"UNICEF dan komunitas hak-hak anak telah melobi dan berkampanye secara aktif selama bertahun-tahun," ujar Benvenuti.
Direktur Unit Perlindungan Anak Filipina, Bernadette Madrid, mengatakan undang-undang baru itu pasti akan membantu menurunkan insiden pelecehan seksual terhadap anak-anak.
"Ada hubungan antara usia yang lebih tua dengan penurunan kasus pemerkosaan yang lebih besar," kata Madrid.
Aturan baru ini diharapkan dapat menghapuskan perkawinan sebagai jalan pintas bagi para pemerkosa untuk menghindari hukum.
Baca Juga: Bocah 9 Tahun Dirudapaksa dan Dibunuh Saat Tolong Ibunya yang Mau Diperkosa
Dari sini, 'klausul sayang' yang mengakibatkan hilangnya tanggung jawab pidana bagi mereka yang berhubungan seks dengan anak dibawah umur dengan perbedaan usia antara dua hingga empat tahun, juga tak berlaku.
Ketika undang-undang baru ini mulai berlaku, mereka yang berhubungan intim dengan anak di bawah 16 tahun, otomatis akan didakwa kasus pemerkosaan dan diancam hukuman maksimal 40 tahun penjara jika terbukti bersalah.
Kasus Rosario sebagai pembuka jalan
Reformasi undang-undang pelecehan seksual terhadap anak di Filipina sebelumnya pernah dilakukan pada 1992. Namun, pembaruan itu hanya mengklaim akan memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap korban, alih-alih menaikkan usia legal seks.
Salah satu pembuka jalan reformasi hukum pada 1992 adalah kasus pemerkosaan seorang gadis berusia 11 tahun bernama Rosario Baluyot.
Rosario yang menjalani perawatan selama tujuh bulan usai diperkosa, akhirnya meninggal dunia pada 1987 akibat luka dalam di bagian organ intimnya.
Pelaku pemerkosa Rosario tak pernah merasakan hukuman kurungan lantaran dinyatakan bebas oleh pengadilan, dengan alasan tak ada bukti korban berusia di bawah 12 tahun, usia legal seks yang termaktub dalam undang-undang buatan tahun 1930.
Penyelidik tak dapat menemukan akta kelahiran Rosario, berujung pada kesimpulan gadis malang itu berusia 12 tahun, sehingga menguatkan pembebasan Heinrich Stefan Ritter, yang sebelumnya telah didakwa dengan permerkosaan dan pembunuhan.
Ritter, yang merupakan seorang dokter asal Austria, pada akhirnya hanya diwajibkan untuk membayar uang ganti 'kerusakann moral dan teladan' kepada keluarga Rosario, dan dideportasi dari Filipina.
Pengacara Ritter, menyebut Rosario berusia 13 tahun, di atas usia legal dan merupakan pelacur yang tinggal di jalanan, bersedia berhubungan seks dengan siapa pun yang membayarnya.
Kasusnya kemudian diabadikan dalam novel dokumenter berjudul Rosario is Dead, tragedi yang turut berpengaruh dalam pembaruan undang-undang 33 tahun kemudian.
Korban pemerkosaan di Filipina mayoritas anak laki-laki
Data kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap anak di Filipina disebutkan terlampau tinggi. Rata-rata, seorang perempuan atau anak-anak diperkosa hampir setiap jam. Tujuh dari 10 korban adalah anak-anak.
Studi nasional tentang kekerasan terhadap anak pada 2015 mengungkap banyak anak laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan di Filipina.
Dalam cakupan usia 13 hingga 17 tahun, satu dari lima anak pernah mengalami kekerasan seksual. Kasus untuk anak laki-laki mencapai 24,5 persen, sementara anak perempuan sebesar 18,2 persen.
Penelitina juga menemukan sebagian besar tindak pemerkosaan terjadi di rumah, dengan pelaku yang paling umum adalah anggota keluargam termasuk ayah, saudara laki-laki, dan sepupu.
Komite Legislator Filipina untuk Yayasan Kependudukan dan Pembangunan, Nenita Dalde menyebut status ekonomi keluarga berperan penting dalam kasus pelecehan dan pemerkosaan anak.
"Kebanyakan remaja berasal dari rumah tangga atau keluarga miskin dan bergantung pada jenis hubungan ini untuk mendapatkan pemberdayaan ekonomi," beber Dalde.
Tingginya aksi pemerkosaan terhadap anakjuga disebutkan sebagai alasan mengapa Filipina memilki tingkat kehamilan remaja tertinggi se-antero Asia Tenggara.
Otoritas Statistik Filipina melaporkan 538 bayi lahir dari ibu yang masih remaja setiap harinya, sepanjang 2017.
Dari angka kelahiran itu, peneliti melihat banyak kehamilan terjadi akibat tindak pemerkosaan. Pun, mayoritas ayah jabang bayi merupakan pria yang jauh lebih tua.
Langkah pembaruan undang-undang ini disambut baik oleh organisasai hak anak, mengatakan aturan itu akan membawa Filipina sejalan dengan standar internasional.
"Seorang anak berusia 12 tahun baru duduk di kelas enam dan baru saja melewati masa puber," kata Benvenuti.
"Ada banyak bukti untuk membuktikan bahwa bagian rasional dari otak seseorang - bagian yang merespons situasi dengan penilaian yang tepat - tidak akan berkembang sepenuhnya hingga usia 25 tahun.
Jadi, sambung Benvenuti, mematok 12 tahun sebagai usia legal seks tidak konsisten dengan studi ilmiah apa pun tentang perkembangan anak dan otak.