Pilkada 2020, Begini Hukum Pengaturan Protokol Kesehatan bagi Para Paslon

Selasa, 13 Oktober 2020 | 15:44 WIB
Pilkada 2020, Begini Hukum Pengaturan Protokol Kesehatan bagi Para Paslon
Pemerhati hukum dari Universitas Bung Karno, Ibnu Zubair. (Dok : Kemendagri)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Berdasarkan data dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), sejumlah pelanggaran protokol kesehatan para pasangan calon (paslon) Pilkada 2020 mewarnai tahapan kampanye hingga hari kesepuluh, yaitu Sabtu (10/10/2020). Walau demikian, semuanya dinilai masih dalam batas kewajaran dan terkendali.

Secara khusus ada 9.189 kejadian, 256 pelanggaran, dan 70 sudah diberi peringatan langsung.

Divisi Pengawasan dan Sosialisasi Bawaslu, Mochammad Afifuddin mengatakan, pada PKPU Nomor 13 Tahun 2020 Pasal 88C, surat peringatan atau surat tilang akan diberikan jika terdapat pelanggaran protokol kesehatan.

Bawaslu menyarankan, jika hal itu terjadi, maka kegiatan dapat dihentikan, dikurangi sampai batasan. Kalau tetap diselenggarakan, maka dapat dibubarkan.

Baca Juga: Sesuai Arahan Presiden, Kemendagri Buka Layanan Aduan Perbaikan Kebijakan

Jika melanggar aturan lainnya, Bawaslu akan merekomendasikan ke lembaga yang diberikan kewenangan. Jika ada tuntutan pidana, maka dalam hal ni adalah kepolisian.

Kalau melanggar aturan lainnya, lebih dari yang telah diungkapkan di atas, masih kata Afifuddin, maka pihaknya akan merekomendasikan ke lembaga yang diberi kewenangan, misalnya soal tuntutan pidana atas pasal UU dan lainnya, Bawaslu meminta pihak kepolisian menindaknya.

Makanya, kata Afifuddin, kelompok kerja (pokja) dibuat dengan melibatkan polisi jaksa, satgas dan lainnya. Bawaslu sendiri menyarankan, paslon  melaksanakan kampanye secara daring, ketimbang tatap muka.

Keputusan ini diambil karena banyak terdapat pelanggaran protokol kesehatan di daerah-daerah Pilkada 2020 yang berujung pada pembubaran, peringatan dan lainnya.

Bawaslu menganggap, merubah kebiasaan memang agak sulit. Kalau tidak dipatuhi, maka ancaman kesehatannya untuk peserta dan penyelenggara bisa berbahaya.

Baca Juga: Mendagri Tito Lantik Empat Pejabat Kemendagri Jadi Pjs Gubernur

Sementara itu dalam pandangan hukum terkait aturan yang dianggap belum tegas dalam PKPU, pemerhati hukum dari Universitas Bung Karno, Ibnu Zubair menilai, pelanggaran dalam pemilu, seharusnya hanya dilabeli sebagai pelanggaran administrasi, kecuali yang berhubungan dengan kecurangan, mulai dari manipulasi jumlah pemilih dan hasil pemilu, pemalsuan identitas, pencurian waktu kampanye sampai pada politik uang, atau hal-hal yang memang sudah ada dalam undang-undang pidana. Selebihnya masuk kategori pelanggaran administrasi.

"Pelanggaran administrasi tidak boleh menganulir substansi demokrasi, yaitu adanya pergantian kepemimpinan melalui proses yang wajar dan diterima semua pihak. Pelanggaran administrasi tetap diberi hukuman sesuai dengan kadar dan ketentuannya, tidak boleh melebihi dari seharusnya," ujarnya, Jakarta, Senin (12/10/2020).

Jangan karena pelanggaran administrasi, lanjut Zubair, maka kemenangan pasangan calon tertentu gagal, atau membuat jadwal pemilihan dibuat mengambang, yang justru dapat menimbulkan kebimbangan dan keresahan.

"Bukankah dalam proses pemilihan umum semua pasangan calon diberi waktu dan kesempatan yang sama!" tambahnya.

Kecuali, kata Zubair, ada yang diberi porsi berbeda, dan itu mustahil terjadi saat ini. Semua saluran informasi terbuka dan dapat diakses oleh semua pihak, tanpa kecuali.

"Sejauh yang termuat dalam beragam PKPU, Komisi Pemilihan Umum sudah melaksanakan kewajibannya, yaitu membuat aturan pencegahan penyebaran Covid-19," papar Zubair.

Menurut dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh menindak kegiatan yang bukan menjadi kewenangannya. KPU hanya perlu mengingatkan dan mencegah, serta memberi sanksi sewajarnya bagi pelanggar protokol kesehatan.

"KPU hanya perlu tegas dan keras dalam urusan tata tertib pemilihan umum, selebihnya cukup membuat aturan pencegahan," imbuhnya.

Jika tetap terjadi pelanggaran, sambung Zubair, maka mekanisme hukum melalui aturan yang ada sudah cukup jelas mengaturnya. Demikian pula dengan PKPU Nomor 13 Tahun 2020, khususnya Pasal 88, kerja penindakan KPU sudah cukup di bagian itu.

"Jika KPU lebih tegas, maka akan melampaui kewenangannya, sebab UU lain yang khusus mengatur masalah kesehatan dan pandemi Covid-19 sudah tersedia," urai Zubair.

Misalnya, UU Wabah Penyakit Menular, UU Karantina Kesehatan atau KUHPidana, yang tidak menggantungkan diri pada situasi pemilu atau tidak.

"Artinya, UU tersebut dapat ditegakkan, sda atau tidak adanya pemilihan umum. Apalagi presiden sudah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional, yang sudah cukup sebagai pedoman dalam penegakan hukum terkait dengan penanganan Covid-19, termasuk pada masa Pemilihan Umum," jelasnya.

KPU, menurut Zubair, cukup menyelaraskan peraturannya dan menguatkan kembali bahwa Pilkada yang dilakukan berlangsung dalam situasi pandemi Covid-19.

"Sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI