Suara.com - Polda Metro Jaya menyiapkan 1.000 rompi khusus untuk insan pers yang meliput aksi unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Hal itu berkaca dari kasus adanya sejumlah wartawan mendapatkan perlakukan represif hingga ditangkap saat meliput aksi serupa pada Kamis 8 Oktober 2020 kemarin.
"Kita siapkan 1.000 untuk rekan pers. Pastinya biar kelihatan pers berbeda dengan aparat dan pendemo. Tentunya identitas diri bisa dipakai setiap ada aksi," kata Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sujana di Kawasan Monas, Jakarta Pusat, Selasa (13/10/2020).
Nana mengatakan, adanya rompi khusus tersebut agar bisa membedakan antara wartawan dengan pendemo. Alasan lain yakni agar terlihat beda juga dengan kelompok perusuh.
Baca Juga: Dibekuk Bawa Ketapel, Polisi Duga Pria Berkaos FPI Usianya Masih Anak-anak
"Hal ini kita lakukan melihat pengalaman yang lalu rekan-rekan pers yang ikut diamankan anggota keamanan sehingga dengan ada rompi ini bisa membedakan rekan pers dan para pendemo atau apalagi kelompok-kelompok yang melakukan anarkis atau anarko," tuturnya.
Nana mengaku, sudah memberikan arahan kepada para anggotanya agar tak bertindak represif kembali. Ke depan jika ada aksi serupa wartawan diminta menggunakan rompi tersebut.
"Kami sudah memberitahukan anggota. Untuk pers itu akan menggunakan rompi," tandasnya.
Kasus Arogansi Polisi ke Jurnalis
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, setidaknya 28 kasus kekerasan terhadap jurnalis atas sikap arogan polisi, selama peliputan aksi penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja disejumlah wilayah 7-8 Oktober 2020.
Baca Juga: Demo Tolak Omnibus Law, Buruh di Kalbar: Kami Jangan Dibuang
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito menyebut, kekerasan yang terjadi terhadap jurnalis berbagai macam. Mereka ada yang diintimidasi, hingga dirampas alat peliputannya serta dilakukan penangkapan.
"Hasil sementara catatan AJI kekerasan terhadap jurnalis ada 28 kasus di berbagai kota. Paling banyak itu kasus jenisnya pengerusakan atau perampasan data hasil liputan," kata Sasmito dalam diskusi daring, Sabtu (10/10/2020).
Sasmito pun merinci, sikap arogan polisi terhadap jurnalis diberbagai kota dalam pengamanan aksi demonstrasi UU Cipta Kerja. Pertama, pengerusakan hingga perampasan alat kerja jurnalis mencapai sembilan kasus.
Kemudian, intimidasi oleh polisi ada tujuh kasus. Serta kekerasan fisik hingga penangkapan, masing-masing enam kasus.
"Sisi pelakunya dari 28 kasus itu, Kalau di aksi menolak omnibus law ini, semua pelakunya dari pihak kepolisian," ucap Sasmito.
Sasmito menuturkan, dari verifikasi AJI di masing-masing kota bahwa jurnalis yang mengalami kekerasan sudah menunjukan ID Card mereka.