Suara.com - Dua geng monyet yang saling baku hantam di India sepanjang tiga bulan terakhir, menewaskan setidaknya tujuh orang.
Menyadur Vice, Senin (12/10/2020), tawuran antar geng monyet ini terjadi di kota Agra dan Shajahanpur, negara bagian Uttar Pradesh.
Konflik monyet paling anyar terjadi pada 6 Oktober lalu, di mana seorang pedagang emas, Laxman Tulsiani, dan juru kunci, Veera, meninggal dunia usai tertimpa tembok.
Perkelahian primata di kota Agra itu mengakibatkan dinding sebuah bangunan runtuh dan melukai dua pria malang itu.
Baca Juga: Seorang Gadis Hamil 4 Bulan, Terungkap Hasil Nafsu Bejat 3 Sepupu
Sebelumnya pada Juli, sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang tewas sebagai buntut insiden baku hantam antara dua geng monyet.
Serupa, keluarga ini meninggal dunia setelah tertimpa tembok rumah yang runtuh akibat diguncang monyet. Insiden ini terjadi saat kelima orang asal Shahjahanpur itu tengah tertidur.
Ahli primata asal India, Iqbal Malik, mengatakan warga hidup berdampingan dengan monyet tanpa konflik hingga akhir 80-an.
Sejak saat itu, konflik monyet dan manusia mulai bermunculan. Malik menilai, berkurangnya lahan sebagai akar permasalahan menahun ini.
"Kurangnya kontrol populasi manusia dan monyet, menipisnya kawasan hutan yang bisa menjadi habitat monyet, dan beralih ke pertanian monokultur telah menyebabkan meningkatnya persaingan dan agresi di antara monyet," ujar Malik.
Baca Juga: Sepasang Pengantin Gelar Pesta Pernikahan Unik, Undang 500 Hewan Liar
Agresi ini, sambung Malik, kemudian berlanjur ke manusia, terurama dalam kasus ketika yanah yang dihuni monyet dirampas oleh pihak berwenang.
Sepanjang 2002 hingga 2018, negara di Asia Selatan ini telah kehilangan 310.624 hektar hutan akibat deforestasi dan industrialisasi.
Pusat penelitian primata yang dikelola pemerintah mengatakan, lebih dari 1.000 kasus gigitan monyet dilaporkan setiap hari di kota-kota India.
Sejak 2015, setidaknya adanya 13 kematian yang disebabkan oleh serangan monyet yang memiliki populasi lebih dari 50 juta di negara tersebut.
Bergantung pada skala dan sifat kerusakan, pemerintah telah melakukan sejumlah upaya untuk meredam permasalahan ini dengan merelokasi monyet ke suaka margasatwa atau ke hutan negara bagian lain.
Kepercayaan mempengaruhi cara masyarakat memperlakukan monyet. Sejumlah pihak masih menghormati primata ini karena ia lekat dengan dewa Hanuman (Bajrangbali), yang populer dalam mitologi Hindu.
"Orang-orang memanggil saya untuk memindahkan monyet di perkotaan, tapi saya tak tahan melihat mereka dikurung. Bagaimanapun, mereka adalah tuan kami Bajrangbali," kata Ravi Kumar, penangkap monyet.
Peneliti botani asal Delhi, Yogesh Gokhale, menyebut meski ada ancaman serangan monyet serius, tapi para warga terus memberi hewan ini makan lantaran memandang mereka sebagai simbol agama.
Kendati demikian, ada juga warga yang menganggap hewan ini sebagai hama sehingga boleh untuk dibunuh atau dimusnahkan, seperti masyarakat negara bagian Himachal Pradesh dan Uttarakhand.
Kepala Petugas Advokasi PETA India, Khushboo Gupta, mengatakan peran badan sipil lokal sangat penting dalam mengurai konflik manusia-hewan, menggarisbawahi pengolahan sampah.
“Solusinya terletak pada perencanaan kota termasuk perlindungan hutan, menutup tempat sampah dan pengumpulan sampah secara teratur," beber Gupta.
Gupta menyebut pengadaan ruang hijau untuk habitat monyet merupakan langkah yang ideal, alih-alih melakukan sterilisasi untuk menekan populasi monyet, yang dicanangkan pemerintah.
"Monyet bukan masalahnya. Manusia, yang telah menciptakan keadaan yang memaksa hewan-hewan ini masuk ke kota," tandasnya.