Suara.com - Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat ada tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa menolak Omnibus Law - UU Cipta Kerja di kawasan DKI Jakarta, Kamis (8/10/2020) kemarin.
Jumlah tersebut kemungkinan besar bisa bertambah mengingat proses penelusuran dan verivikasi perkara masih di lakukan.
Pertama ada nama Thohirin selaku jurnalis CNNIndonesia.com. Dia dipukul kepalanya oleh polisi saat sedang melakukan peliputan. Tak hanya itu, ponsel genggam milik Thohirin turut dirampas dan dihancurkan saat merekam massa demonstran yang mendapat bogem mentah di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” demikian pengakuan Thohirin yang telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat.
Baca Juga: Gas Air Mata Berpotensi Percepat Penularan Virus Corona, Ini Penjelasannya
Selanjutnya ada jurnalis Suara.com bernama Peter Rotti yang tengah meliput di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Peter saat itu sedang merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran.
Tak berselang lama, seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampiri Peter. Aparat meminta kamera Peter itu, namun dia menolak lantaran bahwa ia jurnalis yang resmi meliput.
Tak hanya itu, polisi menolak pengakuan Peter, dan langsung merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi itu, hingga tangan dan pelipisnya memar.
"Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” kata Peter.
Berikutnya ada nama Ponco Sulaksono selaku jurnalis merahputih.com yang juga menjadi sasaran amuk polisi. Dia ‘hilang’ beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui kalau ia dibekuk aparat. Kekinian, Ponco ditahan di Polda Metro Jaya.
Baca Juga: PKS Sindir Jokowi ke Peternakan Bebek: Jangan Lari saat Rakyat Minta Tolong
Selanjutnya ada Aldi selaku jurnalis Radar Depok. Saat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan, dia bersitegang dengan polisi. Nahasnya, dia turut diciduk.
Selanjutnya polisi turut menciduk sejumlah jurnalis mahasiswa yang meliput peristiwa serupa.
Mereka adalah Berthy Johnry (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta), Syarifah, Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati, Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta).
Mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya. Untuk itu, AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Untuk itu, AJI dan LBH Pers meminta Polri mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sedang meliput. Selain itu, polisi diminta menindaklanjuti laporan kasus serupa yang telah dibuat sebelumnya.
"Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja; serta menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang pernah dibuat di tahun-tahun sebelumnya," demikian rilis yang diterima Suara.com, Jumat (9/10).
Selain itu, AJI dan LBH Pers mengimbau para Pimpinan Redaksi untuk ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban. Para jurnalis korban kekerasan juga diimbau untuk berani melaporkan kasusnya.
"Serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis."
Terakhir, AJI dan LBH Pers mendesak Kapolri Jenderal Idham Azis untuk membebaskan jurnalis dan pers mahasiswa yang ditahan.