Suara.com - Menyaksikan demo mahasiswa di Ibukota Jakarta, Kamis ((8/10/2020), melalui televisi dan terbakarnya beberapa fasilitas umum, mengingatkan pada peristiwa demonstrasi mahasiswa Universitas Indonesia pada 15 Januari 1974. Demonstrasi pada waktu itu kemudian dikenal sekarang sebagai Peristiwa Malari.
Ketika Peristiwa Malari terjadi, analis politik dan ekonomi Rustam Ibrahim menyaksikannya dari pinggiran Jalan Salemba Raya (kampus UI) sampai ke Kramat Raya.
Demonstrasi dipimpin Ketua Dewan Mahasiswa UI Hariman Siregar. Mereka bermaksud menuju Istana Merdeka. Mahasiswa menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka karena menilai ekonomi Indonesia dikuasai Jepang.
"Dibanding demo sekarang, demo mereka sangat tertib, dalam barisan yang rapi," kata Rustam.
Baca Juga: Fahri ke Mahfud Soal Penunggang Demo Anarkis: Pasti Bapak Tahu Maksud Saya
Di perempatan Senen, barisan mahasiswa UI tertahan. Mereka tidak bisa bergerak. Seingat Rustam, yang menghadapi demonstran kala itu bukan anggota polisi, melainkan tentara yang dilengkapi senjata.
Tiba-tiba siang harinya terjadi kebakaran Pasar Senen dan kemudian diikuti dengan muncul aksi penjarahan.
Bagaimana respon Presiden Soeharto menghadapi peristiwa itu juga diceritakan Rustam.
Rezim Orde Baru menangkap dan langsung memenjarakan Hariman Siregar dan sejumlah kaum intelektual yang dituduh sebagai aktor intelektual Malari. Di antara tokoh itu ada Sjahrir, Dorodjatun K. Jakti, Prof. Dr. Sarbini Sumawinata, A. Rachman Tolleng, Aini Chalid dan Marsillam Simanjutak.
"Kebetulan saya baru masuk LP3ES. Saya kenal Bung Rahman Tolleng, Mas Jatun, Aini Chalid kawan saya seorang mahasiswa Yogya dan Prof. Sarbini "guru ideologi" saya waktu itu. Hariman, Sjahrir, dan Aini Chalid dihukum penjara," kata Rustam.
Baca Juga: Nomor Hotline Korban dan Kehilangan Keluarga Usai Demo di DKI, Siap Bantu
Bukan hanya itu, rezim Orde Baru juga membredel (mencabut surat izin terbit) sejumlah surat kabar yang dituduh menghasut. Antara lain harian Pedoman, Abadi, Nusantara, Harian KAMI, Abadi, ABADI, Indonesia Raya, dan Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat. Yang selamat dari pembredelan Kompas dan Majalah Berita Mingguan Tempo.
"Respon Presiden Soeharto adalah respon rezim otoriter. Bagaimana pemerintah Jokowi akan memberikan respon terhadap peristiwa demo menentang UU Cipta Kerja 8 Oktober kemarin? Marilah kita tunggu saja," kata Rustam.
Tindak tegas aktor aksi anarkis
Semalam, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD konferensi pers secara virtual menyikapi perkembangan yang terjadi pasca pengesahan UU Cipta Kerja.
Mahfud mengimbau semua elemen masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan menyusul aksi menolak UU Cipta Kerja di sejumlah daerah.
"Oleh sebab itu melihat perkembangan situasi saat ini, pemerintah mengajak mari kita semua menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, semua, semua harus kembali ke posisi tugas menjaga negara, pemerintah, rakyat, masyarakat dan civil society, mari bersama-sama ke posisi masing-masing untuk menjaga keamanan masyarakat," kata Mahfud.
Menurut dia UU Ciptaker dibentuk justru untuk melaksanakan tugas pemerintah, dalam membangun kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja yang semakin banyak.
"Serta untuk melakukan pemberantasan korupsi dan pungli dan pencegahan tindak pidana korupsi lainnya," kata Mahfud dalam laporan Antara.
UU Cipta Kerja, kata dia, dibuat untuk merespons keluhan masyarakat buruh bahwa pemerintah itu lamban di dalam menangani proses perizinan berusaha dan peraturannya tumpang tindih.
Oleh karena itu, kemudian dibuat UU yang sudah dibahas sejak lama.
"Di DPR itu semua sudah didengar semua, semua fraksi ikut bicara, kemudian pemerintah sudah bicara dengan semua serikat buruh, berkali-kali. Di kantor menkopolhukam dan di kantor menkoperekonomian kemudian pernah di kantor Menteri Ketenagakerjaan. Dan sudah mengakomodasi meskipun tidak seratus persen," kata Mahfud.
Dia menegaskan tidak ada ada satupun pemerintah di dunia yang mau menyengsarakan rakyatnya dengan membuat UU.
Menurut dia UU Cipta Kerja juga menyediakan peluang kerja yang jumlah setiap tahunnya mencapai 3,5 juta, dengan 82 persen tingkat pendidikan di bawah SMP.
Mahfud menambahkan, ada informasi hoaks terkait isi UU Cipta Kerja, seperti pesangon tidak ada, tidak ada cuti hamil, dan mempermudah PHK.
"Itu tidak benar. Justru PHK harus dibayar kalau belum putus. Dalam UU ini ada jaminan kehilangan pekerjaan. Ini dibilang tidak ada, hoaks. Bahkan, ada yang menyebut pendidikan dikomersilkan," kata Mahfud.
Bagi masyarakat yang tidak puas atas UU Cipta Kerja, kata dia, bisa menempuh dengan cara sesuai konstitusi.
"Caranya yaitu dengan menyalurkan lewat PP, Perpers, Permen, Perkada sebagai delegasi UU. Bahkan bisa diadukan melalui mekanisme judicial review atau uji materi dan formal ke MK," kata Mahfud.
Pemerintah menyayangkan adanya aksi anarkis yang dilakukan oleh massa yang menolak UU Cipta Kerja dengan merusak fasilitas umum dan melukai petugas.
"Tindakan itu jelas merupakan kriminal dan tidak dapat ditolerir dan harus dihentikan," katanya.
Sebelum melakukan konferensi pers Mahfud menggelar rapat bersama Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kapolri Jenderal Idham Azis, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, dan Mendagri Tito Karnavian. Pernyataan dari pemerintah itu ditandatangani oleh para pejabat tersebut.