9 Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja Dinilai Rugikan Hak Pekerja

Rifan Aditya Suara.Com
Rabu, 07 Oktober 2020 | 22:53 WIB
9 Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja Dinilai Rugikan Hak Pekerja
RUU Cipta Kerja. (Suara.com/Novian Ardiansyah & Ist)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dalam Rapat Paripurna pada Senin (5/10/2020), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan UU Cipta Kerja. Belakangan, undang-undang ini dipermasalahkan. Apa saja pasal kontroversial UU Cipta Kerja?

Sebelumnya, Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja ini sudah menjadi perdebatan publik karena dianggap mementingkan kepentingan investor di atas kebutuhan pekerja.

Seperti pada beberapa pasal kontroversial berikut ini yang dinilai merugikan hak-hak pekerja.

1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

Baca Juga: Polisi Pukul Mundur Demonstran Tolak UU Cipta Kerja di Semarang

Dalam Pasal 59 ayat 2 berisikan, “perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.” Hal tersebut menjelaskan bahwa batas waktu PKWT bisa selamanya tanpa diangkat menjadi pegawai tetap.

Kemudian pada Pasal 59 ayat 1 huruf b mengenai pergantian batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya tiga tahun sebagai salah satu kriteria PKWT. Pasal tersebut berisikan, “pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.”

2. Pemberhentian kontrak kerja

Adanya kemudahan untuk memutuskan perjanjian kerja dimana kontrak dapat diputus secara tiba-tiba ketika pekerjaan dinilai sudah selesai, meskipun masih dalam masa kontrak yang sudah disetujui.

Pembahasan tersebut ada pada Pasal 61 ayat 1 huruf c, “perjanjian kerja berakhir apabila: selesainya suatu pekerjaan tertentu.”

Baca Juga: Soal Aksi Puan Maharani Matikan Mik, Melanie Subono: Kasihan Sama Kakeknya

Hal itu dapat merugikan pekerja karena tidak mendapatkan kesempatan untuk menentukan kapasitas waktu kerja yang diinginkan di perusahaan tempatnya bekerja. Masa waktu kerja yang berlaku bagi pekerja berdasarkan keputusan dari tempat kerjanya.

3. PHK sepihak

Aturan pada UU No.13 Tahun 2003 mengenai PHK kepada pekerja yang melanggar peraturan perusahaan dihapus.

Dalam Pasal 151 yang berbunyi: “pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja, pengusahan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial,” ini sudah tidak lagi diberlakukan.

Maka, dengan penghapusan aturan tersebut, pengusaha dinilai dapat memutuskan hubungan kerja secara sepihak tanpa berunding dengan pekerja.

4. Berkurangnya hak pesangon

Pekerja yang sudah habis kontrak atau berhenti bekerja wajib mendapatkan pesangon.

Hal itu disebutkan dalam Pasal 156 UU No.13 Tahun 2003 yang berisi: “pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”

Namun, aturan tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja, sehingga dinilai mengurangi hak pesangon bagi pekerja.

5. Outsourcing atau alih daya

Untuk peraturan dan syarat-syarat tentang outsourcing dihapus, sehingga outsourcing dilakukan bebas syarat. Serta penghapusan perlindungan bagi pekerja outsourcing.

Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 81 yang menyebutkan ketentuan Pasal 64 dan 65 yang berbunyi: “perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis,” telah dihapus, sehingga tidak ada batasan mengenai jenis pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.

6. Penambahan jam lembur

Dalam UU Cipta Kerja ini, diberlakukan batas waktu kerja lembur maksimal 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

Sebelumnya pada Pasal 78 ayat 1 huruf b UU No.13 tahun 2003 yang berbunyi: “waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.”

Aturan itu diganti menjadi, “waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.”

7. Penghapusan hak istirahat dan cuti

Aturan mengenai waktu istirahat dan cuti pada Pasal 79 UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berisikan, “hak istirahat 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu,” dan “cuti panjang selama 2 (bulan) bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun,” dihapus.

Ketentuan mengenai cuti panjang diwajibkan untuk diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan.

8. Penghapusan upah minimum

Dalam Pasal 81 poin 26 dan 27 UU Cipta Kerja, disebutkan mengenai penghapusan ketentuan Pasal 89 dan 90 pada UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi: “upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak yang ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi/Bupati/Walikota, penguasaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.”

Aturan tersebut dinilai bahwa pekerja bisa saja mendapatkan penghasilan yang lebih rendah dari upah minimum dan dari penghasilan yang didapatkan saat ini.

9. Perekrutan TKA dipermudah

Aturan pada Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003 yang berbunyi: “setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.”

TKA juga harus memiliki beberapa berkas seperti Rencana Pengunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

Ketentuan tersebut diubah dalam UU Cipta Kerja yang menyebutkan TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja. Hal itu dinilai mempermudah perizinan bagi TKA dan dikhawatirkan dapat menggusur pekerja Indonesia.(Salsafifah Nusi Permatasari)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI