Suara.com - Apa saja pasal kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja? Berikut daftar pasal kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja bab Ketenagakerjaan.
Omnibus law RUU Cipta Kerja telah resmi disahkan menjadi Undang-Undang melalui rapat paripurna DPR RI pada Senin (5/10/2020). UU Cipta Kerja terdiri atas 15 Bab dan 174 Pasal, di mana di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.
Pasal-Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja
Terdapat sejumlah pasal kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, di antaranya adalah sebagai berikut ini:
Baca Juga: UU Cipta Kerja Disahkan, Pengamat: Rakyat Jadi Korban
- Pasal 59: UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau pekerja kontrak
Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja yang pertama ini menghapus aturan mengenai jangka waktu PKWT atau pekerja kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan yang dijabarkan pada Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, hingga batas waktu perpanjangan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau PKWT yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Sementara UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini sangat berpotensi dalam memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas. - Pasal 79: Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur di dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas
Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja berikutnya tentang hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan. Pasal 79 Ayat (2) huruf (b) UU Cipta Kerja mengatur tentang pekerja yang wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu, Pasal 79 UU Cipta Kerja juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku setiap kelipatan masa kerja enam tahun. Kemudian Pasal 79 Ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. - Pasal 88: UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja
Pasal Kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja selanjutnya terkait upah pekerja. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja hanya menyebutkan tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 di dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yaitu:
- Upah minimum.
- Struktur dan skala upah.
- Upah kerja lembur.
- Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu.
- Bentuk dan cara pembayaran upah.
- Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah.
- Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Beberapa kebijakan pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, di antaranya adalah upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Itulah pasal-pasal kontroversial Omnibus Law Cipta Kerja.
Kontributor : Rishna Maulina Pratama
Baca Juga: Kelemahan Utama Jokowi Terbukti Lewat Kuatnya Penolakan UU Cipta Kerja