WHO mengatakan pemeriksaan selaput dara secara visual atau dengan jari tidak dapat membuktikan apakah seorang perempuan atau gadis pernah melakukan intim. Adapun tes itu melanggar hak asasi manusia.
Ginekolog Ghada Hatem mengaku sering dimintai oleh gadis-gadis Mahreb, mayoritas Muslim di barat laut Afrika, untuk menerbitkan sertifikat keperawanan.
"Saya dimintai oleh maksimal tiga perempuan (untuk sertifikat) setiap tahun," ujar Hatem.
Menurutnya, serifikat ini akan menjauhkan para gadis atau perempuan dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh kerabat atau anggota keluarga.
Perempuan Muslim dapat menghadapi penolakan oleh keluarga mereka dan masyarakat setempat, bahkan hingga dibunuh, jika melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Banyak kelompok kepercayaan tradisional lainnya juga mengharuskan perempuan dan gadis untuk menjadi "suci" sebelum menikah.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch, PBB, dan organisasi lainnya, tes keperawanan dilakukan tidak hanya terkait pernikahan, namun juga untuk penyelididkan kasus pemerkosaan atau perekrutan pasukan keamanan.
Laporan BBC Arabic tahun 2019 menyebut tes semacam itu paling umum dilakukan di Afrika Utara, Timur Tengah, India, Afghanistan, Bangladesh, dan Afrika Selatan.