Suara.com - Pemerintah Prancis berencana menjerat para dokter yang melakukan praktik tes keperawanan dengan hukuman penjara dan denda.
Menyadur BBC, Rabu (7/10/2020), langkah ini merupakan bagian dari rancangan undang-undang yang bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai sekuler Prancis.
Larangan terhadap tes yang erat kaitannya dengan pernikahan agama tradisional ini juga ditujukan untuk memerangi apa yang disebut Presiden Emmanuel Macron sebagai separatisme Islamis.
Kementerian Dalam Negeri Prancis mengatakan RUU yang belum rampung pembahasannya itu, memungkinkan setiap tenaga medis yang mengeluarkan "sertifikat keperawanan" akan dihukum satu tahun penjara dan denda 15 eruo atau sekitar Rp 259 juta.
Baca Juga: Duh, Paris Masuk Zona Merah Covid-19 di Prancis
Menteri Delegasi Prancis bidang Kewarganegaraan, Marlene Schiappa mengatakan RUU yang akan diajukan ke parlemen pada Desember mendatang, harus mencakup hukuman bagi mereka yang menutut tes keperawanan, seperti orang tua atau tunangan.
Berdasarkan laporan France 3 TV, sekitar 30% dokter di Prancis pernah dimintai untuk mengakomodir tes keperawanan. Kebanyakan dari mereka disebutkan menolak.
Asosiasi di Prancis yang berkonsentarsi di bidang kontrasepsi dan aborsi, ANCIC, mengatakan pihaknya mendukung sikap pemerintah terkait hukuman bagi praktik tes keperawanan.
Kendati demikian, ANCIC menyebut penerapan aturan ini harus dibarengi dengan edukasi untuk semua pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
"Perlu ada bekal pendidikan, menginformasikan, diskusi, mencegah, dan memberi dukungan," kata ANCIC.
Baca Juga: Secara Bertahap, Prancis Larang Sirkus Gunakan Hewan Liar
Organisasi Kesehatan Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut praktik tes keperawanan harus dihentikan.
WHO mengatakan pemeriksaan selaput dara secara visual atau dengan jari tidak dapat membuktikan apakah seorang perempuan atau gadis pernah melakukan intim. Adapun tes itu melanggar hak asasi manusia.
Ginekolog Ghada Hatem mengaku sering dimintai oleh gadis-gadis Mahreb, mayoritas Muslim di barat laut Afrika, untuk menerbitkan sertifikat keperawanan.
"Saya dimintai oleh maksimal tiga perempuan (untuk sertifikat) setiap tahun," ujar Hatem.
Menurutnya, serifikat ini akan menjauhkan para gadis atau perempuan dari kekerasan fisik yang dilakukan oleh kerabat atau anggota keluarga.
Perempuan Muslim dapat menghadapi penolakan oleh keluarga mereka dan masyarakat setempat, bahkan hingga dibunuh, jika melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Banyak kelompok kepercayaan tradisional lainnya juga mengharuskan perempuan dan gadis untuk menjadi "suci" sebelum menikah.
Berdasarkan laporan Human Rights Watch, PBB, dan organisasi lainnya, tes keperawanan dilakukan tidak hanya terkait pernikahan, namun juga untuk penyelididkan kasus pemerkosaan atau perekrutan pasukan keamanan.
Laporan BBC Arabic tahun 2019 menyebut tes semacam itu paling umum dilakukan di Afrika Utara, Timur Tengah, India, Afghanistan, Bangladesh, dan Afrika Selatan.