Suara.com - Polri memastikan tidak mengeluarkan surat izin keramaian kepada serikat pekerja dan buruh yang berencana melakukan aksi unjuk rasa dan mogok nasional menolak Undang-Undang Cipta Kerja.
Meski begitu, mereka mengklaim akan menggunakan pendekatan humanis dan persuasif bagi massa yang bersikukuh menggelar unjuk rasa.
"Kapolri tidak memberikan izin (demo), tapi kalau ada yang maksa kita tetap mengedepankan preemtif, preventif, penegakkan hukum terakhir," kata Karo Penmas Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Awi Setiyono kepada wartawan, Selasa (6/10/2020).
Menurut Awi, dalam rangka antisipasi aksi unjuk rasa tersebut Polri berpegang teguh pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengendalian Massa, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap Nomor 1 tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki.
Baca Juga: Larang Buruh Demo Tolak Omnibus Law, Corona jadi Dalih Kapolri Terbitkan TR
"Jadi lapis-lapis itu kemampuan sudah kami siapkan," ujarnya.
Awi mengklaim bahwa larang Polri terhadap aksi unjuk rasa bagi serikat pekerja dan buruh tersebut tidak melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Dia berdalih bahwa larangan tersebut dilakukan semata-mata demi keselamatan masyarakat mengingat kekinian masih dalam situasi pandemi Covid-19.
"Itu (keselamatan jiwa) adalah hukum tertinggi, pemikiran ini dijadikan pedoman terhadap dikeluarkannya telegram Kapolri (pelarangan aksi unjuk rasa)," katanya.
Buruh berencana menggelar unjuk rasa dan mogok nasional pada tanggal 6 hingga 8 Oktober. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Omnibus Law - Cipta Kerja.
Baca Juga: YLBHI Kritik TR Kapolri: Ini Polisi Apa Departemen Penerangan Era Soeharto?
Kendati begitu, DPR RI dan pemerintah kekinian justru telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada Senin (5/10) kemarin. Pengesahan UU yang dianggap merugikan kaum pekerja itu dipercepat dari rencana sebelumnya.