Suara.com - Pengusaha Mardigu Wowiek Prasantyo atau dikenal Bossman Mardigu Sontoloyo mengaku heran dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Ia bingung, Liga 1 dan Liga 2 resmi ditunda akibat Covid-19, namun Pilkada tetap digelar.
Hal itu disampaikan oleh Bossman Mardigu dalam kanal YouTube miliknya bertajuk 'Liga 1 PSSI Lebih Penting dari Pilkada!! Jangan Cuma Ngebet Anaknya Njabat Cuk!!'.
Mardigu mengaku terkejut sekaligus heran saat mendengar pengumuman dari Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan yang menyampaikan Liga 1 dan Liga 2 ditunda karena tak mendapat izin keramaian dari polisi terkait penyebaran Covid-19.
Namun, perhelatan Pilkada hingga kampanye memperebutkan posisi kepala daerah tetap diperbolehkan.
Baca Juga: FPI: Pilkada Harus Ditunda, Vaksin Asal China Juga Harus Diganti!
"Saya pikir ketika Pilkada lanjut maka Liga 1 dan Liga 2 PSSI juga lanjut. Kaget juga saya, dalam pilihan begini malah Pilkada jalan terus, kampanye masal dijalankan," kata Mardigu seperti dikutip Suara.com, Minggu (4/10/2020).
Menurut Mardigu, jika ia menjadi pejabat pengambil keputusan maka ia akan memutuskan untuk menunda Pilkada satu tahun.
"Tapi mungkin karena kebelet, jadi ya gimana. Saya juga heran, kebelet apa sih boss? Mau njabat?" sindir Mardigu.
Selama Pilkada bergulir, kata Mardigu, para paslon akan saling bertarung memperebutkan kursi kekuasaan. Tak jarang pertarungan tersebut menimbulkan kebisingan.
"Selama kampanye bising banget tapi sudahlah, yang berkuasa punya rencana untuk kemajuan bangsa dan keluarganya tentunya," sindirnya.
Baca Juga: Pilkada di Tengah Pandemi, Pemerintah Didesak Terbitkan Perppu
Mardigu menjelaskan, olahraga merupakan ladang bisnis yang besar. Oleh karenanya seharusnya Indonesia tidak menunda perhelatan Liga 1 dan Liga 2 PSSI.
"Olahraga adalah bisnis besar. Liga Eropa, Liga Amerika, Liga Asia, semua main seperti biasa namun tanpa penonton. Sekali lagi pertanyaannya, mengapa harus dijalankan?" ujar Mardigu.
Mardigu merinci pendapatan sebuah klub sepak bola. Tiket penonton menyumbang pendapatan sebesar 15 hingga 20 persen.
Selain itu, ada iklan dan sponsor menyumbang 35 hingga 50 persen dan sisanya dari merchandise.
"Kalau kompetisi tidak dijalankan, mereka kehilangan 100 persen. Namun ketika dijalankan hanya kehilangan satu hal, yaitu tiket penonton di stadion. Iklan dan merchandise tetap besar, bisa 80 persen," paparnya.
Sebagai gantinya, penonton akan menyaksikan laga pemain idola mereka melalui instrumen lain seperti televisi atau media sosial.
Namun, sayangnya perhitungan bisnis tersebut tidak dilirik oleh pemerintah. Pemerintah justru menunda bisnis besar Liga 1 dan Liga 2 dan menggelar Pilkada.
"Eh, di Indonesia tidak dimainkan, tetapi Pilkada lanjut. Sorry ya, maaf nyindir lagi. Maaf nyindir," tukasnya.