Tak Kalah Bahaya, Tuberculosis Perlu Penanganan Serius di Tengah Pandemi

Erick Tanjung Suara.Com
Minggu, 04 Oktober 2020 | 05:05 WIB
Tak Kalah Bahaya, Tuberculosis Perlu Penanganan Serius di Tengah Pandemi
[Suara.com/Ema Rohimah]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penanggulangan penyakit Tuberculosis atau TBC perlu mendapat perhatian serius di tengah pandemi Covid-19. Selain banyaknya pengidap TBC di Indonesia, dampak yang ditimbulkannya pun berbahaya.

Berdasarkan data yang dirilis pada 2019, WHO menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga di dunia kasus TBC terbanyak, setelah India 2,4 juta kasus dan Tiongkok 889 ribu kasus.

WHO mencatat kasus TBC di Indonesia mencapai 845 ribu, sekitar 24 ribu kasus resisten obat. Dari angka tersebut, hanya 69 persen atau sekitar 540 ribu kasus yang ditemukan dan diobati. Total kematian mencapai 98 ribu jiwa.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI, Achmad Yurianto menekankan pentingnya penanganan TBC ini semestinya bukan hanya sebagai masalah sektoral namun nasional.

Baca Juga: Ini Faktor Yang Mendongkrak Harga Ikan Cupang Bisa Jutaan Rupiah

"Di Indonesia bukan hanya masalah Kemenkes, tapi masalah negara," ujar Yurianto dalam Editor Meeting bertajuk Kondisi Pemberitaan Penanganan TBC di Indonesia di Masa Pandemi Covid-19 secara daring, Jumat (2/10/2020).

Berkenaan ini, Yurianto menyebut, Presiden Joko Widodo pun sempat menyinggung agar persoalan TBC ini perlu segera menjadi perhatian negara lewat kebijakan atau regulasi. Seperti, Perpres guna mempercepat penanggulangan penyakit yang mudah menular ini, layaknya Covid-19.

Sosialisasi menyoal TBC yang efektif pun perlu didorong lebih efektif. Menurutnya, para pemangku kebijakan juga perlu menggaet berbagai pemangku kebijakan untuk turut menyosialisasikan kesadaran atas TBC seperti sosialisasi pencegahan TBC sesuai bahasa lokal masyarakatnya.

"Untuk menjawab permintaan masyarakat terhadap informasi (TBC), dari kita tak memaksakan harus berbahasa Indonesia misalnya," ucapnya.

Di tengah pandemi Covid-19 ini, Direktur Eksekutif STPI, Henny Akhmad mengatakan masalah TBC semakin terpinggirkan. Bahkan, kampanyenya seolah mundur akibat atensi masyarakat yang lebih berfokus ke Covid-19.

Baca Juga: Jangan Menyerah! Ini Tips Mencari Kerja Saat Pandemi Covid-19

"Karena Covid-19, (TBC) jadi mundur 4 atau 5 tahun lalu. Bukan berarti beban penanganan TBC berkurang drastis karena ribuan kasus tidak ditemukan, tapi karena semua layanan fokus ke Covid-19," tegasnya.

Senada, Pegiat di Yayasan pejuang Tangguh TB-RO (PETA) Jakarta, Binsar Manik mengatakan para pasien TBC mengalami tantangan yang semakin berat di masa pandemi ini. Bukan saja banyaknya rumah sakit yang beralih untuk menangani Covid-19, namun juga mempengaruhi psikologi pasien yang cemas untuk berobat.

"Padahal, kalau berobat (TBC) seharusnya tidak boleh ditunda. Tapi mereka lebih memilih untuk tidak keluar berobat yang dapat menyebabkan mereka ketemu pasien Covid-19," terangnya.

Sebagai pendamping pasien TBC, Binsar juga mengalami kendala tersendiri. Selain karena protokol kesehatan Covid-19, namun juga komunikasi selama pandemi.

"Mereka tidak punya alat komunikasi, mereka sulit bertemu dengan petugas karena dibatasi dengan kendala yang ada," pungkasnya.

Acara 'Editong Meeting' ini digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta untuk berbagi informasi tentang TBC secara umum, kondisi terkini, peran pemerintah lewat berbagai regulasi, dan peran pemangku terkait, kepada jurnalis di seluruh Indonesia.

Selain diskusi, AJI Jakarta juga mendapat masukan dari 15 editor media massa terkait dengan peliputan tentang TBC. Dari masukan para editor tersebut, memang perlu bagi media dalam memperkuat liputan TBC untuk mencegah penularan yang lebih masif.

Adapun lingkup pemberitaan yang perlu ditingkatkan terkait dengan TBC adalah kejelian redaksi media untuk menyajikan data serta menuliskan fenomena yang relevan terkait TBC. Penekanan terkait dampak serius TBC juga perlu diekplorasi oleh jurnalis.

Dalam menggali isu TBC, jurnalis pun mesti lebih kritis untuk memantau implementasi aturan serta program pemerintah, di samping terus mendorong agar narasumber tidak hanya normatif dalam menjawab persoalan TBC yang penting ini.

"Untuk mendukung upaya-upaya pemberitaan TBC yang baik dan benar, AJI Jakarta bersama STPI berkeinginan untuk mengadakan fellowship peliputan seputar TBC. Selain itu, TOR untuk panduan pemberitaan TBC pun akan kami galakkan,” kata Afwan Purwanto, Sekretaris AJI Jakarta.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI