Suara.com - Aktivis hak asasi manusia Veronica Koman mengungkapkan, korban sipil yang tewas saat gerakan melawan rasisme di Papua Barat pada pertengahan 2019 lalu mencapai 61 orang.
Sementara bangsa Papua peserta aksi anti-rasisme yang mengalami luka-luka mencapai 294 orang.
Hal itu dituliskan Veronica dalam "Laporan Dugaan Pelanggaran HAM dalam Gerakan West Papua Melawan 2019".
Dokumen resmi tersebut adalah hasil penelitian Tapol bekerja sama dengan Veronica Koman.
Baca Juga: Pihak Gereja Papua Pesimis TGPF Ungkap Pelaku Penembakan Pendeta Yeremia
Untuk diketahui, Tapol adalah organisasi yang giat mengampanyekan HAM, perdamaian dan demokrasi di Indonesia. Tapol yang berkantor di Inggris ini didirikan pada tahun 1973 oleh Carmel Budiardjo, yang pernah menjadi tahanan politik Indonesia pada masa pemerintahan Suharto.
Laporan setebal 130 halaman tersebut menjelaskan secara rinci akar masalah demonstrasi besar menolak rasisme terhadap mahasiswa Papua Barat di Malang, Semarang dan Semarang tahun lalu yang berujung gerakan massa di Papua dan berbagai daerah di Indonesia hingga ke Ibu Kota Jakarta.
"Korban sipil yang tewas selama periode ini mencapai 61 orang, termasuk 35 orang asli West Papua. Dari 35 orang yang meninggal itu, 30 diantaranya menderita luka tembak," tulis Veronika dalam keterangannya, Jumat (2/10/2020).
Luka tembak ini, kata Veronika mengindikasikan bahwa mereka dibunuh oleh aparat keamanan Indonesia.
Baca Juga: Dana Otsus Dinaikan 2,25 Persen, Mahfud MD: Ini Banyak Untukmu Rakyat Papua
Sementara, tiga korban lainnya tewas akibat luka tusuk yang juga diduga dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia, sedangkan penyebab dua kematian lainnya masih belum jelas.
"Milisi digunakan aparat keamanan pada dua dari tiga peristiwa dimana bendera Bintang Kejora dikibarkan di gedung-gedung publik," jelasnya.
Kemudian, tiga kematian warga sipil akibat penembakan di Kabupaten Deiyai pada 28 Agustus 2019 seharusnya bisa dicegah dengan pertolongan medis.
Namun, Veronica mengatakan aparat sudah mengepung rumah sakit sehingga rakyat Papua takut mencari pertolongan medis.
"Ketakutan orang West Papua itu terkonfirmasi dengan adanya fakta bahwa empat belas pasien di Deiyai dan empat pasien di Wamena digelandang polisi saat masih dirawat di rumah sakit. Kasus serupa juga terjadi di Jayapura," jelasnya.
Peristiwa ini juga mengakibatkan 22.800 warga sipil mengungsi, rinciannya 300 orang di Deiyai, 11.000 orang di Wamena, 4.000 orang di Jayapura, 1.500 orang di kabupaten Puncak dan 6.000 mahasiswa di luar Papua mengungsi pulang kampung.
Tercatat pula ada 1.017 orang yang ditangkap selama pergerakan, 22 orang di antaranya menjadi tahanan politik dengan dugaan makar.
Mereka tersebar di Jakarta enam tahanan politik, Balikpapan ada tujuh tapol, Jayapura satu tapol, Sorong empat tapol, dan Manokwari 14 tapol.
Kemudian ada pula tapol dengan tuduhan non-makar sebanyak 135 orang; 100 tapol sudah didakwa, 29 masih menjalani tuntutan, dan enam lainnya berstatus daftar pencarian orang (DPO).
Dokumen laporan dugaan pelanggaran HAM terhadap aksi rakyat Papua melawan anti-rasisme itu bisa dibaca di sini.