Suara.com - Mahkamah Agung menjadi sorotan lantaran mengurangi masa hukuman sejumlah terpidana koruptor berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK). Terkait hal tersebut, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad enggan berkomentar mendalam.
Ia tidak ingin pendapatnya nanti juatru terkesan mengintervensi MA. Kendati begitu, Dasco menilai MA pastinya mengambil putusan melakui proses persidangan dan bukti yang ada.
Karena itu, ia meminta publik untuk menghormati apapun putusan MA, termasuk menyunat masa hukuman para koruptor.
"Saya tidak mau mengintervensi dengan statement saya tapi marilah kita hormati keputusan hukum yang sudah dibuat dan bersifat final dan mengikat," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (1/10/2020).
Baca Juga: Ketika Peninjauan Kembali Jadi 'Modus' Koruptor Dapatkan Potongan Hukuman
Sebelumnya, sebanyak 22 terpidana korupsi mendapat pengurangan masa hukuman dari putusan peninjauan kembali atau PK di Mahkamah Agung. Namun KPK mengatakan belum menerima salinan putusan atas puluhan perkara korupsi yang mendapatkan pengurangan masa hukuman dari MA.
"Hingga saat ini KPK belum menerima salinan putusan lengkap secara resmi dari MA terkait putusan majelis PK atas sekitar 22 perkara yang mendapatkan pengurangan hukuman," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dikonfirmasi, Rabu (30/9/2020).
Oleh karena itu, Ali meminta MA segera kirim putusan 22 perkara korupsi kepada KPK untuk nantinya dipelajari atas penggurangan masa hukuman tersebut.
"Kami berharap MA dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut agar kami dapat pelajari lebih lanjut apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim," ujarnya.
Apalagi, kata Ali, kekinian sudah ada lagi sekitar 38 perkara korupsi yang mengajukan PK ke MA.
Baca Juga: Banjir Kritik karena Sering 'Sunat' Hukuman Koruptor, Begini Tanggapan MA
"Sekalipun PK adalah hak terpidana, namun dengan banyaknya permohonan PK perkara yang misalnya baru saja selesai eksekusi pada putusan tingkat pertama jangan sampai dijadikan modus baru para napi koruptor dalam upaya mengurangi hukumannya," tuturnya.
Ali mengingatkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang merugikan kehidupan masyarakat dan negara.
"Oleh karenanya salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan adanya efek jera terhadap hukuman para koruptor sehingga calon pelaku lain tidak akan melakukan hal yang sama," kata Ali.
Sebelumnya, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah mengatakan, hakim MA dalam memutus perkara PK yang diajukan koruptor memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun.
"Memutus perkara merupakan kewenangan hakim, sesuai dengan rasa keadilan majelis hakim yang bersangkutan. Hakim atau majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun," ucap Abdullah dihubungi, Rabu (30/9).
Maka itu, Abdullah meminta sebelum memberikan pernyataan sebaiknya agar membaca secara lengkap setiap putusan.
"Saya dan siapapun tetap harus menghormati putusan apa adanya. Jika memberikan komentar lebih bijak membaca putusan lebih dahulu. Setelah mengetahui legal reasoningnya baru memberikan komentar, kritik maupun saran saran. Putusan tidak bisa dipahami hanya dengan membaca amarnya saja," ujar Abdullah.