Film G30S/PKI Terbukti Cacat Fakta yang Sudah Diakui Sutradaranya Sendiri

Siswanto Suara.Com
Rabu, 30 September 2020 | 19:53 WIB
Film G30S/PKI Terbukti Cacat Fakta yang Sudah Diakui Sutradaranya Sendiri
Nobar film G30SPKI di Cijantung. (Suara.com/Nikolaus Tolen)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejarahwan Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, menilai masyarakat saat ini sudah cerdas menyikapi pro dan kontra dari film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI sehingga tidak ada masalah jika diputar kembali.

"Masyarakat saat ini sudah cerdas. Sudah banyak beredar fakta-fakta baru terkait peristiwa G30S/PKI sehingga orang bisa membuat penilaian mana yang benar dan tidak dalam film itu," kata Sri Margana dalam keterangan tertulis, Rabu (30/9/2020).

Margana justru menyarankan kalangan milenial menonton film G30S/PKI karena sama sekali belum pernah melihat film yang kerap dikritik mengandung sejumlah kebohongan dan propaganda ini.

Dengan menonton film tersebut, menurut dia, masyarakat dapat belajar mengapa terdapat pro dan kontra terhadapnya.

Baca Juga: Polda Sulsel Tidak Izinkan Warga Nonton Bareng Film G 30 S/PKI

"Saya sarankan yang belum pernah nonton supaya menonton sebagai pengetahuan, menambah referensi cara berpikir sebelum bersikap," kata dia.

Margana menilai pemerintah tidak perlu mengeluarkan larangan bagi masyarakat untuk menonton film tersebut. Sebaliknya, pemerintah juga diharapkan tidak menjadikan film itu sebagai tontonan wajib masyarakat.

"Kalau sampai diwajibkan maupun dilarang nonton itu tidak benar," kata dia.

Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM menyampaikan penayangan film ini dihentikan sejak reformasi 1998.

Ia mengatakan sudah ada kajian-kajian yang mendasari penghentian terhadap film besutan sutradara Arifin C. Noer, salah satunya karena dinilai cacat fakta. Misalnya, soal kisah penyiksaan di luar batas kemanusiaan kepada para jenderal di Lubang Buaya.

Baca Juga: Ruhut: Akhirnya yang Tertawa PKI Kalau Memang Masih Ada

Hasil visum yang dilakukan para dokter, kata dia, tidak terbukti ada penyiksaan, seperti pencungkilan mata, pemotongan alat kelamin, dan lainnya.

"Film ini terbukti cacat fakta yang sudah diakui oleh sutradaranya sendiri. Misalnya soal penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan di Lubang Buaya itu terbukti dari arsip-arsip visum tidak ada, hanya dramatisasi," kata dia.

Mengingat adanya unsur kekerasan dalam film G30S/PKI, Margana menekankan perlunya upaya sensor sebab berpeluang dilihat oleh anak-anak.

"Sebaiknya yang ada unsur kekerasan tidak perlu ditayangkan, lagi pula faktanya tidak ada penyiksaan," kata dia.

Menurutnya, menjadikan peristiwa yang terjadi pada 1965 sebagai memori kolektif bangsa merupakan hal yang baik agar persitiwa serupa tidak terulang kembali. Namun dia meminta masyarakat untuk tidak mewariskan dendam masa lalu pada generasi berikutnya.

Sebab dalam persitiwa yang terjadi di tahun 1965 itu merupakan konflik antarkelompok politik.

"Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi jangan wariskan dendam," kata Margana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI