Menanggapi pengurangan hukuman tersebut, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman, seharusnya Mahkamah Agung dapat memberi argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusannya.
"Khususnya putusan Peninjauan Kembali (PK) yaitu 'legal reasoning' pengurangan hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi. Terlebih putusan PK yang mengurangi hukuman ini, marak setelah gedung MA ditinggal sosok Artijo Alkostar," kata Nawawi.
Artidjo diketahui adalah ketua majelis kasasi saat memutus kasasi Irman dan Sugiharto pada 2018 lalu. Saat ini Artidjo adalah anggota Dewan Pengawas KPK.
"Jangan sampai memunculkan anekdot hukum, bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya," ujar Nawawi.
Menurut Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, hingga saat ini KPK belum menerima salinan putusan lengkap secara resmi dari MA terkait putusan majelis PK atas sekitar 22 perkara yang mendapatkan pengurangan hukuman.
"Kami berharap MA dapat segera mengirimkan salinan putusan lengkap tersebut, agar kami dapat pelajari lebih lanjut apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim. Saat ini setidaknya masih ada sekitar 38 perkara yang ditangani KPK sedang diajukan PK oleh para napi korupsi," kata Ali pula.
Ia berharap banyaknya permohonan PK perkara yang baru saja selesai eksekusi pada putusan tingkat pertama, jangan dijadikan modus baru para napi koruptor dalam upaya mengurangi hukumannya.
"Kita semua sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang berdampak dahsyat pada kehidupan manusia, karenanya salah satu upaya pemberantasannya adalah dengan adanya efek jera terhadap hukuman para koruptor, sehingga calon pelaku lain tidak akan melakukan hal yang sama," kata Ali. (Antara)
Baca Juga: 22 Koruptor Dapat Potong Hukuman Dari MA, KPK Belum Terima Salinan Putusan