Suara.com - Politikus Ruhut Sitompul menyesalkan sikap orang-orang yang membuat kegaduhan dengan mengangkat isu PKI.
"Beginilah sekarang akhir-akhir ini menyalahkan yang nasionalis PKI-lah bahaya laten PKI-lah, nggak sadar selama ini sudah diberi kesempatan tahunya hanya bisa menunjuk hidung orang lain. Eh tidak bisa menunjuk hidung sendiri, akhirnya yang tertawa PKI yang kalau memang masih ada," kata Ruhut.
Untuk menyindir orang-orang yang bikin gaduh di tengah pandemi Covid-19, Ruhut mengunggah tautan video. Video tersebut menayangkan anjing berbadan lebih besar mengejar anjing lebih kecil, tetapi tidak dapat-dapat. Aksi kedua anjing berakhir dengan ditertawakan monyet.
Warganet tertawa menyaksikan kelucuan konten video tersebut. "Iya kita ini berjuang apa untuk negeri ini. Minimal nggak ikut gaduh, aman," kata seorang netizen.
Baca Juga: Dewi Irawan Ungkap di Balik Layar Film G30S PKI, Ibunda Ikut Terlibat
Di tengah ramainya pembicaraan tentang isu komunisme dan ajakan nonton film Pengkhianatan Gerakan 30 September PKI tahun 1965 -- yang sudah menjadi semacam agenda rutin tahunan tiap bulan September -- politikus Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean berharap mereka bisa membedakan antara PKI dan komunisme.
Sebelum bisa membedakan kedua hal itu, Ferdinand menyarankan mereka untuk membaca buku-buku sejarah terlebih dahulu supaya bisa bicara secara tepat.
"Kalau belum bisa bedakan PKI dengan komunisme, dan belum bisa bedakan PKI sebagai organisasi dengan oknum anak PKI, ya sebaiknya banyak baca dulu biar tidak salah memahami substansi," kata Ferdinand.
"Ditanya PKI dimana nggak tahu, ditanya siapa yang jualan komunis? Jawabnya ada orang yang bangga jadi anak PKI. Duhh!"
Menurut penjelasan Ferdinand, PKI bukan ideologi, tetapi partai atau organisasi. Yang ideologi adalah komunisme.
Baca Juga: Gatot Gembar-gembor PKI Bangkit, Usman Hamid: Gus Dur Bukan PKI!
"Jelas komunisme sebagai ideologi tak akan mati meski semakin ditingggal oleh dunia. Tapi PKI, jelas sudah mati...!!" katanya.
Kendati sebagian orang belum bisa membedakan PKI dan komunisme, tetap saja ramai kalau membahas isu kebangkitan.
Beberapa waktu yang lalu, Ferdinand mendebat pandangan sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun, Musni Umar.
"Komunis tidak pernah mati, tapi PKI sudah mati pak. Rusia dan Cina saja tidak murni lagi komunis. Agama sudah tumbuh di sana. Jadi nggak usah menakut-nakuti. Jangan samakan komunis di Rusia dan Cina dengan PKI yang pernah kudeta. Kenapa PKI dilarang? Karena melakukan pemeberontakan. Profesor kok begini," kata Ferdinand.
Ferdinand sebelumnya juga pernah menanggapi pernyataan mantan Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo yang mengatakan kebangkitan komunis tidak bisa dilihat, tetapi bisa dirasakan.
"Pak Gatot, apakah artinya bahwa PKI ini baru hantunya yang bangkit hingga tak bisa dilihat tapi bisa dirasakan? Padahal bahkan hantu saja tak bisa dirasakan, kenapa bisa-bisanya PKI hanya bisa dirasakan? Apakah ini memang soal perasaan seperti cinta terpendam kepada PKI?" kata Ferdinand.
Lebih jauh, Ferdinand menilai kalangan yang lebih memercayai isu kebangkitan komunisme ketimbang intoleransi sebagai "hanya orang bebal."
"PKI masa lalu dan tinggal sejarah. Itupun tidak jernih sejarahnya hingga sekarang, apakah kudeta pada penguasa atau kudeta pada Pancasila," kata dia.
"Hanya orang bebal yang lebih takut dan khawatir pada masa lalu yang sudah mati daripada masa depan yang nyata-nyata terancam oleh kaum intoleran HT, ISIS, Al Qaeda," Ferdinand menambahkan.
Menurut Ferdinand sebenarnya membosankan terus menerus membicarakan isu tersebut. Itulah sebabnya, dia mengajak untuk membicarakan tema lain yang menyangkut pembangunan negeri.
"Bosan ah bicara PKI, pokoknya besok 30 September 2020, kibarkan bendera merah putih setengah tiang di rumah masing-masing, kita berduka bahwa PKI pernah membunuhi para jenderal kita 1965 silam, dan PKI meski sudah mati adalah musuh abadi bangsa. Lebih baik bicara membangun negeri!" kata Ferdinand.