Suara.com - Tim kuasa hukum Bareskrim Polri menjabarkan fakta yang menyebutkan jika Irjen Napoleon Bonaparte mengetahui soal penghapusan red notice Djoko Tjandra -- yang saat itu berstatus buron dalam kasus hak tagih atau cassie Bank Bali-- sejak tahun 2019.
Hal tersebut termaktub dalam jawaban atas permohonan dalih pemohon dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/9/2020).
Tim kuasa hukum Bareskrim Polri menyebut, Napoleon yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri membantu Djoko Tjandra menghapus status daftar pencarian orang (DPO).
Kepada Kombes Tommy Arya, dia memerintahkan agar membuat beberapa produk surat sehingga Djoko Tjandra terhapus dari status DPO.
Hal tersebut terjadi seusai tersangka Tommy Sumardi memberikan uang sebesar Rp. 7 miliar kepada Napoleon. Uang tersebut diberikan dalam pecahan dolar Amerika dan dolar Singapura secara bertahap.
"Dalam tenggang waktu bulan April 2020 sampai Mei 2020, Irjen Napoleon Bonaparte telah memerintahkan KBP Tommy Arya untuk membuat beberapa produk surat yang berkaitan dengan red notice yang ditandatangani oleh Ses NCB Brigjen Nugroho Slamet Wibowo sampai dengan terhapusnya DPO," kata kuasa hukum Polri dalam jawabannya.
Pada 13 April 2020, Tommy Sumardi menyambangi ruang kerja Napoleon untuk membicarakan kepengurusan penghapusan red notice.
Selanjutnya, jenderal bintang dua itu memerintahkan Kombes Tommy Arya mengadakan rapat yang dilakukan tanpa undangan dan notulen rapat.
Selanjutnya, dilakukan penerbitan berita faksimili yang ditujukan Jaksa Agung Muda bidang Pembinaan Kejaksaan Agung RI. Surat resmi itu bernomor NCB-DivHI/Fax/529/IV/2020 perihal konfirmasi status red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra.
"Faksimili tanggal 14 April 2020 inilah sebenarnya yang mengawali terjadinya tindak pidana tersebut," lanjut mereka.
Mereka melanjutkan, penerbitan surat itu tidak sesuai denfan tugas pokok dan fungsi Napoleon selaku Kadiv Hubinter Polri. Tak hanya itu, penerbitan surat dikakukan atas inisiatif Napoleon selaku pemohon.
Kemudian, pada 16 April 2020, Anna Boentaran selaku istri Djoko Tjandra membuat surat permohonan kepada Napoleon untuk mencabut red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra.
"Dengan dalil surat permohonan tersebutlah, akhirnya pemohon menerbitkan surat-surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham. Justru di situlah membuka konsistensi pemohon untuk membantu pribadi Joko Soegiarto Tjandra," tambah dia lagi," beber tim kuasa hukum Bareskrim Polri.
Gugatan praperadilan tersebut diajukan oleh Napoleon pada 2 September 2020. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya telah menjadwalkan sidang perdana pada Senin (21/7/2020) lalu.
Dalam perkara kasus dugaan gratifikasi terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra, sejauh ini penyidik Dittipikor Bareskrim Polri telah menetapkan empat orang tersangka. Keempat tersangka yakni, eks Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte, Kakorwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi.
Penyidik menetapkan Djoko Tjandra dan Tommy sebagai tersangka pemberi gratifikasi atau suap. Sedangkan, Napoleon dan Prastijo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap.
Dalam pengungkapan kasus tersebut penyidik telah menyita sejumlah barang bukti. Beberapa barang bukti yang disita yakni uang senilai 20 ribu USD, surat-surat, handphone, laptop dan CCTV. Penyidik juga berencana akan melimpahkan berkas perkara tersebut ke Kejaksaan Agung RI dalam waktu dekat ini.
Setelah sebelumnya Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara tersebut ke penyidik lantaran dinilai belum lengkap atau P19.