Suara.com - Pembunuhan kembali terjadi di Papua pada Sabtu (19/9/2020). Seorang pendeta bernama Yeremia Zanambani (68) ditemukan tewas tertembak senjata api dan tertusuk di Kampung Bomba, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Menurut pendeta yang tidak bisa disebutkan namanya, Pendeta Yeremia ditemukan tak bernyawa di kandang babi miliknya dan ditemukan oleh istrinya pada Minggu pagi.
“Sabtu sore dia ke kandang babi sama istrinya. Lalu istrinya pergi duluan, dia tetap di sana. Setelah itu, saya dengar Pendeta Yeremia ditembak oleh tentara. Dia juga ditusuk katanya, karena masih hidup setelah ditembak,” jelasnya.
Kepolisian Daerah Papua menduga Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terlibat dalam pembunuhan ini untuk memancing perhatian global jelang sidang umum PBB yang akan digelar pada 22-29 September 2020.
Baca Juga: Pemuda Malang yang 'Palu' Kepala Kawan Sampai Tewas Terancam Hukuman Mati
Masyarakat setempat merasa pembunuhan pendeta Yeremia ini dilakukan untuk mencari pelaku penembakan yang menewaskan anggota TNI.
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua Barat Socratez S. Yoman juga menuding TNI sebagai dalang di balik pembunuhan pendeta Yeremia.
“Pendeta Yeremia bukan orang jahat dan dia tak terlibat dalam penembakan TNI. Mengapa TNI langsung menembak Pendeta Yeremia? Kenapa tidak bertanya dulu. TNI yang pernah bertugas di Hitadipa pasti tahu Pendeta Yeremia, tapi TNI yang baru bertugas di Hitadipa tidak mengenalnya, makanya langsung ditembak mati,” kata Younes Dauw, aktivis HAM Papua.
Namun, TNI membantah tuduhan tersebut dan menuding KKB sebagai pelaku dari pembunuhan pendeta Yeremia.
Keterangan yang dikatakan oleh Kapen Kogabwihan III, Kol Czi IGN Suriastawa mengenai TNI yang disebarkan KKB di media sosial.
Baca Juga: Pemerintah Bentuk Tim Investigasi Penembakan Pendeta Yeremia Zanambani
“Mereka memutar balikkan fakta. Terlihat jelas adanya setingan agar masyarakat terus mencurigai TNI dan pemerintah menjelang sidang umum PBB,” katanya.
Saat ini TNI juga sedang melakukan investigasi untuk mengetahui pelaku pembunuhan.
Mengetahui hal tersebut, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan jika benar pelakunya adalah aparat TNI, maka TNI harus memberi penjelasan mengenai tudingan yang dilakukannya terhadap KKB.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang meneliti tentang Papua mengatakan kematian pendeta ini menjadi konflik yang tidak selesai-selesai antara TNI dengan kelompok bersenjata di Papua.
Konflik antara TNI dengan kelompok bersenjata sering terjadi dalam sepekan belakangan.
Pendeta Yeremia menjadi korban keempat setelah kejadian yang dilakukan KKB beberapa hari sebelumnya.
Korban bernama Laode Anas (34) ditemukan terkena tembakan di lengan kanan, dan Fatur Rahman (23) mengalami luka tembak di perut dan luka sayatan senjata tajam di dahi dan hidung.
Kedua korban ditemukan di lokasi yang sama dan dalam waktu yang berdekatan di Intan Jaya pada Senin (14/9/2020).
Korban selanjutnya merupakan Babinsa Koramil Persiapa Persiapan Hitadipa Pratu Dwi Akbar Utomo yang mengalami luka tembak, Serka Sahlan, dan warga sipil, Bahdawi.
Jatuhnya korban-korban tersebut disebabkan oleh aksi KKB yang dilakukan di Kampung Bilogai, Distrik Sugapa pada Kamis (17/9/2020).
“Kejadian ini menunjukkan kegagalan negara untuk menghadirkan perdamaian di Papua. Dari awal tahun, sudah ada 15 kasus penembakan di luar hukum di sana. Gimana orang Papua bisa hidup bebas dan tenang?” kata Usman Hamid.
Kematian tokoh Papua ini mengingatkan pada beberapa tokoh Papua lainnya yang meninggal dunia.
1. Theys H. Eluay
Dortheys Hiyo Eluay merupakan mantan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) dan juga seorang Pemimpin Besar Bangsa Papua Barat yang diculik dan dibunuh di Jayapura pada tahun 2001.
Theys merupakan salah satu yang terpilih dalam Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat yang mengikuti pemungutan suara untuk integrasi dengan Indonesia pada tahun 1969. Lalu dia bergabung dengan Partai Kristen Indonesia dan masuk ke parlemen pada tahun 1971.
Pada tahun 1999, Theys mendirikan Papua Merdeka dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.
Namun nyatanya, keberadaan PDP diresahkan karena dapat melepas Papua dari NKRI.
Pada 11 November 2001, Theys ditemukan tewas di kilometer 9, Koya, Muara Tami, Jayapura, setelah sehari sebelumnya diculik.
Sehari sebelumnya, Theys menghadiri upacara peringatan Hari Pahlawan yang diadakan di Pemda Irian Jaya.
Ketika dihubungi Taha Al-Hamid, Sekjen Presidium Dewan Papua, Theys saat itu berada di Hotel Matoa, Jayapura.
Malam hari, Sopir Theys, Ari Masoka, menelepon rumah Theys dan mengatakan dirinya dan Theys sedang diculik oleh orang-orang amber (bukan Irian). Mereka berada di kawasan Skyline, antara Entrop dan Kotaraja, 10 kilometer dari Jayapura.
Penculikan terjadi ketika Theys sedang dalam perjalanan pulang dari upacara peringatan Hari Pahlawan di Markas Tribuana Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, di Hamadi, Kecamatan Jayapura Selatan. Saat itu, Theys menggunakan mobil Kijang bernomor B 8029 TO.
Pada Minggu (11/11/01) pagi, Yaneke (istri Theys) dan Taha Al-Hamid melaporkan penculikan yang terjadi dengan Theys ke Mapolda Irian Jaya.
Polisi juga mendapat laporan ditemukannya mobil Kijang yang terperosok ke jurang di dekat perbatasan Papua Nugini. Terlihat Theys ditemukan sudah tewas di dalam mobilnya, sedangkan nasib Masoka belum diketahui.
Dipimpin oleh Kepala Polres Jayapura Ajun Komisaris Besar Daud Sihombing, polisi mengevakuasi jenazah di kawasan Koya.
Dalam investigasi sementara menunjukkan, mobil Kijang tersebut terperosok dalam keadaan mesin mati. Hal itu terlihat dari kunci starter yang dalam posisi tidak menyala. Terlihat posisi mobil yang tersangkut di pohon berjarak empat meter di bawah jalan.
Keadaan tersebut membuat pembunuhan ini terlihat memiliki perencanaan yang matang dan rapih.
Pembunuhan ini dikaitkan dengan profil Theys sebagai tokoh sipil dan tokoh adat yang dianggap berseberangan dengan pemerintah Jakarta.
Theys berbicara dengan “bahasa budaya” kepada pemerintah Indonesia, namun berbicara dengan “bahasa politik” kepada rakyat Papua.
Berdasarkan hasil penyelidikan, dalam hasil monitoring ELS-HAM Papua, adanya “operasi jam malam” yang melibatkan TNI AD, AL, dan Kopassus.
ELS-HAM Papua juga mendapat informasi dari sumber berinisial DW dan TW, bahwa dia mengadakan rapat dengan Kopassus untuk melakukan “rencana perlakuan jam malam” di daerah Koya.
Agenda tersebut diadakan dikarenakan Kopassus sedang mencari anggota TPN (Tentara Pembebasan Nasional) yang membuat kegaduhan di Koya.
2. Agus A. Alua
Agus Alue Alua merupakan mantan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) yang dinyatakan meninggal dunia pada Kamis (7/3/2011).
Sebelumnya, Agus telah menandatangani SK No.14 Tahun 2009 mengenai rekomendasi bahwa bupati atau wakil bupati di Papua harus orang asli Papua.
Agus merupakan Ketua MRP periode pertama yang terpilih melalui jalur Perwakilan Agama Katolik Keuskupan Jayapura.
Napas terakhir Agus dalam usia 48 tahun dinyatakan pada Kamis (7/3/2011), di RS Dian Harapan Waena, Kota Jayapura, Papua.
Menurut pemimpin gereja-gereja di Tanah Papua, kematian Agus ini dinilai tidak wajar. Karena Agus sempat menerima teror beberapa bulan sebelum kematiannya.
Diduga teror tersebut datang dari berbagai pihak yang tidak setuju dengan kebijakan otonomi khusus MRP.
Wakil Ketua Sinode GKI Papua Pendeta Elly D. Doerebo mengatakan adanya pembunuhan karakter dalam teror tersebut.
“Bapak Agus sering mendapat teror lewat SMS dan telepon. Teror itu dimaksudkan untuk menumbangkan otonomi khusus MRP sebagai pertahanan terkahir rakyat Papua,” jelasnya.
Elly menginginkan pertanggung jawaban yang dilakukan oleh individu ataupun lembaga atas kematian Agus.
Ketua Sinode Gereja KINGMI Papua Benny Giay merasa kematian Agus ini dilakukan untuk menutup kebebasan bagi rakyat Papua.
Kematian Agus juga dilakukan karena Agus membela rakyat Papua uang tidak diberi kebebasan dan merupakan ancaman bagi pemerintah.
3. Mako Tabuni
Mako Tabuni merupakan aktivis Papua dan Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), ormas yang berkampanye untuk kemerdekaan wilayah Papua Barat.
Ketika demo, Mako menjadi pemimpin dan berada di atas mobil komando sembari mengutarakan orasinya di hadapan ribuan demonstran damai.
Pada 2012, Polda Papua memasukkan Mako ke dalam Daftar Pencaharian Orang (DPO) gelap. Hingga pada 14 Juni 2012 pukul 9 pagi, Mako tewas tertembak pasukan khusus Polda Papua dalam sebuah operasi di kawasan Perumnas III Waena, Kota Jayapura, Papua.
Berdasarkan keterangan saksi, saat itu Mako sedang makan, lalu ada tiga mobil Kijang Avanza yang melaju menuju Perumnas III. Mobil berwarna biru mendekati Mako dan langsung menembak lima kali.
Terlihat penembak dengan senjata laras panjang itu menggunakan topeng dan berpakaian seperti preman.
Penembak membawa Mako masuk ke dalam mobil dan pergi dari TKP.
Dalam perjalanan, Mako terlihat masih bernyawa, lalu dinyatakan meninggal saat tiba di Rumah Sakit Bhayangkara di Jayapura, Papua.
Sebelum penembakan, polisi mengatakan Mako sempat berusaha merebut senjatanya. Ditemukan juga senjata revolver dan 18 peluru dari saku jaket Mako yang merupakan hasil curian.
Kejadian penembakan Mako ini memicu kerusuhan besar di Jayapura. Aktivis pro-kemerdekaan Papua mengklaim bahwa Mako sengaja ditembak oleh kepolisian.
Penembakan terjadi diduga karena kecurigaan polisi terhadap Mako yang terlibat dalam penembakan Dietmar Pieper, dan beberapa penembakan lainnya di Kota Jayapura.
Namun hingga hari penembakan Mako, belum juga ditemukan bukti yang menyatakan bahwa Mako terlibat dalam penembakan-penembakan tersebut.
4. Nato Gobay
Nato Gobay merupakan Pastor di Gereja Kristus Raja dan Ketua Komisi HAM Keuskupan Timika di Papua.
Ia dinyatakan meninggal dunia pada Minggu (1/2/2015) pukul 12.30 Waktu Papua.
Berdasarkan keterangan dari Agus Gobay (keluarga), Pastor Nato hendak ke kamar mandi setelah pulang dari memimpin Misa di Gereja Kristus Raja. Lalu Pastor Nato ditemukan sudah terjatuh di dalam kamar mandi.
“Kami lihat sudah tidak bernapas. Tapi kami tetap bawa Pastor Nato ke RSUD Siriwini siapa tahu masih bisa ditolong. Tapi kata petugas, Pastor Nato sudah meninggal,” katanya.
Agus mengherankan kejadian tersebut karena ia melihat kondisi Pastor Nato sangat sehat. Pastor juga memimpin Misa dengan sukacita dan suaranya yang tidak terdengar seperti sedang sakit.
“Kami pasrahkan saya pada Tuhan. Hanya Dia yang tahu penyebabnya,” lanjutnya.
5. Neles Tebay
Neles Tebay merupakan seorang pastor, cendekiawan, dan aktivis perdamaian. Ia mendirikan lembaga Jaringan Damai Papua (JDP) untuk menjembatani dialog antara Jakarta dan Papua dalam menyelesaikan masalah HAM, politik, dan ideologi di Papua.
Tak hanya itu, Pastor Neles juga menulis artikel di surat kabar Kompas, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Tifa, dan menulis banyak buku.
Pastor Neles dinyatakan meninggal dunia di RS St Carolus Jakarta pada Minggu (14/4/2019) pukul 12.15 WIB. Kematiannya terjadi setelah menjalani rangkaian perawatan karena kanker tulang.
Sekretaris Eksekutif KWI Sipri Hormat mengatakan Pastor Neles merupakan tiang gereja di Papua, harapan umat, dan intelektual Papua.
“Pastor telah kembali ke rumah Bapa. Mari kita berdoa untuk almarhum,” katanya.
Wolas T Krenak, pengamat Papua, merasa kehilangan tokoh yang menjadi jembatan emas bagi Jakarta-Papua.
“Tebay adalah permata damai di hati setiap manusia pecinta damai,” ujarnya.
Romo Ivan Haryanto memimpin untuk menyemayamkan jenazah Pastor Neles, dan melakukan Misa pelepasan dari Jakarta ke Papua pada Senin (15/4/2019) pukul 17.00 WIB.
Jenazah Pastor Neles kemudian dimakamkan di halaman kampus STFT “Fajar Timur”, Padang Bulan, Abepura, Kota Jayapura, Papua, pada Kamis (18/4/2019). (Salsafifah Nusi Permatasari)