Menurut HNW, sesuai ketentuan UU, baik UU Sistem Pendidikan Nasional maupun UU Pesantren, maka madrasah maupun pesantren termasuk dalam kategori lembaga pendidikan formal maupun non formal yang dikelola masyarakat. Menjadi masalah ketika diatur dalam aturan RUU ciptaker dengan konsep omnibus law yang menjadi UU induk yang mencakup seluruh yang terkait dengan pendidikan ; baik yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun di bawah Kementerian Agama.
Pasalnya, klaster pendidikan dalam RUU ciptaker menghadirkan ketentuan pada Pasal 71 dan Pasal 62 ayat (1), yang bermuatan pengaturan pasal karet yang bisa mengancam sanksi hukum pidana selama-lamanya 10 tahun, atau denda sebanyak-banyaknya Rp1 miliar, bagi penyelenggara lembaga pendidikan formal dan non formal yang belum memiliki izin.
Ia mengkhawatirkan apabila diatur dalam omnibus law, maka maka ketentuan itu akan berlaku umum sehingga bisa menyasar lembaga pendidikan formal maupun non formal yang berada di bawah Kementrian Agama yaitu pesantren atau madrasah, serta para penyelenggaranya (kyai, ustaz dan seterusnya), yang sebenarnya sudah memilik UU secara khusus, yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
“Padahal pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal atau non formal, sudah punya aturan tersendiri, dalam UU yang bersifat lex specialis, yaitu UU Pesantren, yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi hukuman pidana atau denda. Jadi wajar bila banyak pihak dikalangan Pesantren dan Madrasah yang resah akibat adanya pasal karet seperti itu, yang potensial jadi ancaman terhadap Pesantren, Madrasah dan para Pengelolanya” ujarnya.
HNW menjelaskan juga bahwa pada rapat kerja terakhir Komisi VIII dengan Menteri Agama, HNW sudah menyampaikan secara langsung kepada menteri agama agar ikut aktif menyuarakan keresahan pesantren dan umat, ikut mengoreksi, baik dengan mengusulkan pencabutan klaster pendidikan dari omnibus law RUU ciptaker atau agar menghadirkan ketentuan baru yang definitif dalam RUU omnibus law klaster pendidikan bahwa lembaga pendidikan keagamaan formal maupun non formal hanya merujuk kepada UU Pesantren, dan agar pesantren tidak diatur dalam pasal karet seperti dalam klaster pendidikan yang bisa multitafsir dan dipakai untuk mengkriminalisasi pesantren atau madrasah serta para pengelolanya.
HNW mengaku bersyukur akhirnya klaster pendidikan dicabut. Dan dengan dicabutnya klaster itu, pasal karet yang bisa menyasar pesantren dan para pengelolanya otomatis ikut dicabut.
Dengan demikian, maka aturan soal pendidikan umum dan pendidikan agama kembali kepada UU lex specialis-nya masing-masing, seperti UU Sisdiknas dan UU Pesantren, yang terbukti lebih baik, dan lebih sesuai dengan semangat reformasi dan konstitusi.
“Dengan demikian, akan amanlah lembaga pendidikan agama dan penyelenggaranya (yakni para kyai dan ustaz) dari kemungkinan tersasar intervensi dan ancaman sanksi, akibat adanya pasal karet dalam klaster pendidikan RUU ciptaker. Alhamdulillah,” kata HNW.
Baca Juga: Dapat Izin Pimpinan, Baleg DPR Bawa Pembahasan RUU Ciptaker ke Hotel