Suara.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras mendesak Presiden Jokowi mencabut keputusan pengangkatan dua eks anggota Tim Mawar menjadi pejabat Kementerian Pertahanan.
Pasalnya, kedua orang itu merupakan aktor penculikan terhadap sejumlah aktivis prodemokrasi di masa Orde Baru.
Tapi pemerintah menjawab pengangkatan tersebut merupakan hal biasa.
Sementara keluarga korban aktivis mengatakan keputusan Presiden Jokowi "kian menjauhkan penyelesaian kasus tersebut yang kini berada di Kejaksaan Agung".
Baca Juga: Angkat Eks Tim Mawar Jadi Pejabat Kemhan, IKOHI Merasa Dilecehkan Jokowi
Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menyebut Indonesia menuju kepada situasi "kemunduran demokrasi" dengan terus dipilihnya para pelanggar Hak Asasi Manusia sebagai pejabat negara.
Kontras mencatat, beberapa aktor pelanggar HAM yang masuk pemerintahan Presiden Jokowi seperti Wiranto yang sempat menduduki kursi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Prabowo Subianto yang saat ini menjabat Menteri Pertahanan, dan sekarang dua eks-anggota Tim Mawar, Yulius Selvanus dan Dadang Hendra Yudha.
Keduanya dipilih sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan dan Direktur Jenderal Potensi Pertahanan di Kementerian Pertahanan.
Bagi Fatia, penunjukan mereka merupakan bentuk penghinaan terhadap korban pelanggaran HAM yang kerap diabaikan negara.
"Kami mendesak Presiden Jokowi untuk segera mencabut Keppres dan segara menuntaskan kasus pelanggaran HAM sesuai janji pada masa kampanye agar tidak lagi terjadi penghinaan terhadap korban," ujar Fatia Maulidiyanti kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Minggu (27/9/2020).
Baca Juga: Jabatan Baru Eks Tim Mawar Tuai Protes, Jokowi Disebut Menghina Korban HAM
Fatia juga mengatakan, penunjukan tersebut kian "memperkuat impunitas terhadap para pelaku pelanggar HAM", sehingga kasus-kasus pelanggaran berat masa lalu yang ditangani Kejaksaan Agung akan semakin sulit dituntaskan.
Peneliti Kontras, Rivanlee Anandar, juga mengatakan pemerintah tidak menjalankan dua hal penting dalam mengangkat pejabat negara yakni mekanisme vetting atau pemeriksaan latar belakang dan profesionalitas.
Ia mengatakan jika dua prinsip tadi dijalankan maka tidak akan ada orang yang tersandung hukum menduduki jabatan penting di pemerintahan.
Itu mengapa Kontras, kata Rivanlee, mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi dalam soal hak asasi manusia. Pasalnya selama ia menjabat sebagai presiden tidak ada satu pun kasus HAM masa lalu yang dituntaskan Kejaksaan Agung.
Padahal dalam Nawacita yang diusung Jokowi pada 2014, ia pernah berjanji untuk mengusut penculikan aktivis dan mencari mereka yang hilang salah satunya Wiji Thukul.
"Jadi harapan-harapan itu makin sirna ketika makin banyak pula orang-orang dari pelanggar HAM yang diangkat menjadi pejabat publik," imbuh Rivanlee Anandar kepada BBC.
Siapa dua eks Tim Mawar yang jadi pejabat?
Dalam Keputusan Presiden (Keppres) yang diteken Presiden Jokowi pada 23 September 2020, setidaknya ada enam pejabat eselon I di Kemenhan yang diberhentikan dan diangkat.
Dua pejabat yang diangkat itu di antaranya Brigjen TNI Yulius Selvanus sebagai Kepala Badan Instalasi Strategis dan Brigjen TNI Dadang Hendra Yudha sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan di Kementerian Pertahanan.
Peneliti Kontras, Rivanlee Anandar, mengatakan keduanya merupakan anak buah Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus.
"Keduanya diketahui menjadi bagian dari aksi penculikan sejumlah aktivis. Para aktor lapangan ini bergerak atas komando dan komando itu tidak dikejar sampai hari ini," tutur Rivalee Anandar.
Pada Februari 1999, Yulius Selvanus dan Dadang Hendra Yudha yang berpangkat kapten disidang oleh Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta. Yulius dihukum 20 bulan penjara dan dipecat dari ABRI sedangkan Dadang dihukum 16 bulan penjara tanpa pemecatan.
Namun dalam putusan tingkat banding, pemecatan terhadap Yulius dianulir oleh hakim, sehingga keduanya masih menjabat aktif sebagai anggota militer.
Rivanlee meyakini betul keduanya mengetahui detil rencana Satuan Tugas Mawar atau Tim Mawar yang menculik para aktivis prodemokrasi pada 1997-1998.
"Keterlibatan mereka sangat vital karena mereka aktor. Jadi kalau diangkat (jadi pejabat negara) agak konyol juga. Bagaimana mau menyelesaikan dan meratifikasi konvensi antipenyiksaan kalau aktor pelanggar HAM ada di lingkungan pemerintahan?" sambung Rivanlee.
Berdasarkan data Kontras, selama periode 1997-1998 setidaknya ada 23 orang yang telah dihilangkan. Dari belasan aktivis yang diculik, satu orang meninggal dunia yaitu Leonardus Gilang Iskandar alias Gilang, sembilan orang kembali ke keluarga, dan 13 orang tidak diketahui keberadaannya.
Ketigabelas orang itu adalah Wiji Thukul, Suyat, Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser.
Keluarga korban: 'Kok tidak punya rasa kemanusiaan negara ini?'
Paian Siahaan, orang tua dari Ucok Munandar Siahaan, berkata tak habis pikir dengan sikap pemerintah yang mengangkat pelaku pelanggar HAM sebagai pejabat.
Sebab pengadilan militer telah menghukum anggota Tim Mawar atas penculikan para aktivis.
"Saya berulang kali bilang, kok tidak punya rasa kemanusiaan negara ini? Karena kepastian keluarga korban belum didapat, apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal?" ujar Paian Siahaan dengan nada tinggi ketika dihubungi BBC.
"Masak orang bersalah kok dimasukkan dalam pemerintahan yang kita sudah tolak dan minta pertanggungjawaban," sambungnya.
Ia juga bercerita ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden untuk periode kedua, mantan Gubernur DKI Jakarta itu berjanji kepada keluarga korban aktivis 1998, akan menyelesaikan kasus tersebut.
Kendati janji tersebut, katanya, tidak tercatat sebagai kontrak politik. Namun ia dan keluarga korban yang lain masih memegang janji itu.
"Katanya akan kita selesaikan. Tapi kalau penculiknya diangkat jadi aparat pemerintah bagaimana bisa menyelesaikannya? Ini masalah krusial bagi keluarga korban."
Keluarga korban 13 aktivis yang hilang, menurut Paian, menunggu kejelasan dari pemerintah atas nasib mereka.
Sebab hingga saat ini, nama anaknya masih tercatat dalam Kartu Keluarga lantaran jenazah Ucok tidak diketahui keberadaannya.
"Ini yang sekarang kami tuntut supaya ada kepastian hukum."
Apa kata pemerintah?
Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan pengangkatan dua eks Tim Mawar merupakan yang biasa dan rutin.
"Pergantian dan mutasi tersebut hal yang rutin di Kemenhan maupun di TNI, dalam rangka penyegaran organisasi, tour of duty," ujar Dahnil seperti dilansir Kompas.com
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Donny Gahral Adian, mengaku belum bisa berkomentar.
"Jadi sekarang saya harus mendapat green light [persetujuan] dulu dari Sesneg baru bisa komentar," kata Donny kepada BBC.