Vanuatu Giat Persoalkan HAM Papua di PBB, Diplomat RI Cuma Beretorika

Senin, 28 September 2020 | 13:20 WIB
Vanuatu Giat Persoalkan HAM Papua di PBB, Diplomat RI Cuma Beretorika
Tangkapan layar diplomat yang bertugas di PTRI New York, Silvany Austin Pasaribu, mewakili Indonesia saat menyampaikan hak jawab di Sidang Umum PBB, Sabtu (26/9/2020). (ANTARA/Yashinta Difa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Vanuatu kembali menyinggung isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap bangsa Papua oleh pemerintah dan militer Indonesia dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sabtu (26/9) akhir pekan lalu

Perdana Menteri Republik Vanuatu Bob Loughman menyinggung adanya pelanggaran HAM, dan menyatakan tidak senang dengan cara Indonesia bersikap atas tuduhan yang mereka luncurkan.

Namun, diplomat-diplomat Indonesia hanya menjawab secara retorika, bahkan menuduh Vanuatu memunyai kepentingan politik di balik kegigihan mereka menyuarakan pelanggaran HAM di Papua.

Diplomat-diplomat Indonesia tak pernah menyajikan data maupun fakta berhasil menekan pelanggaran HAM di Papua.

Baca Juga: Diisolasi Akibat Covid-19, Calon Bupati Manokwari Selatan Belum Ditetapkan

Suara Vanuatu untuk memperjuangkan hak asasi bangsa Papua bukan kali pertama dilontarkan oleh negara yang luasnya hampir sama dengan Pulau Maluku tersebut.

2014

Perdana Menteri Vanuatu saat itu yakni Moana Carcasses Kalosil mengutuk "pengabaian" masyarakat internasional terhadap suara rakyat Papua sebagai protes atas penindasan yang dilakukan oleh Indonesia selama empat dekade.

Moana berbicara isu tersebut juga di depan Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, dia mengatakan negaranya berusaha untuk "memperkuat kepedulian terhadap hak asasi manusia" di wilayah Papua Barat.

"Kami sangat prihatin dengan sikap masyarakat internasional yang mengabaikan suara rakyat Papua, yang hak asasi manusianya telah diinjak-injak dan ditindas dengan parah sejak 1969," ujarnya dikutip dari Pacific Media Center.

Baca Juga: Gereja Kecewa, Jokowi Diam Pendeta Mati di Papua Tapi Bicara Palestina

Perdana Menteri Carcasses juga membandingkan sejarahnya yang hampir senasib dengan yang mereka tuduhkan kepada Indonesia.

"Sejak Undang-Undang Pemilihan Bebas yang kontroversial pada tahun 1969, Rakyat Melanesia di Papua Barat telah menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung yang dilakukan oleh dinas keamanan Indonesia."

"Dunia telah menyaksikan litani penyiksaan, pembunuhan, eksploitasi, pemerkosaan, penggerebekan militer, penangkapan sewenang-wenang dan perpecahan masyarakat sipil melalui operasi intelijen." jelasnya.

Penampilan Nara Masista Rakhmatia saat berbicara mewakili Indonesia di Sidang Umum PBB. [YouTube/screen grab]
Penampilan Nara Masista Rakhmatia saat berbicara mewakili Indonesia di Sidang Umum PBB. [YouTube/screen grab]

2016

Pada tahun 2016, Vanuatu juga kembali melontarkan kecaman serupa, namun pada saat itu atas nama Negara-negara Kepulauan Pacific.

Disadur dari ABC News, delegasi dari Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga mengkritik catatan hak asasi manusia Indonesia di provinsi Papua dan Papua Barat.

Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare mengatakan dugaan pelanggaran hak asasi manusia di provinsi-provinsi tersebut terkait dengan dorongan untuk merdeka.

"Pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dan pengejaran untuk penentuan nasib sendiri di Papua Barat adalah dua sisi dari mata uang yang sama," katanya.

"Banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat menekankan pembuktian yang melekat antara hak untuk menentukan nasib sendiri yang mengakibatkan pelanggaran langsung hak asasi manusia oleh Indonesia dan upayanya untuk meredam segala bentuk oposisi." jelasnya.

Namun protes negara-negara tersebut dijawab secara retoris perwakilan Indonesia di PBB Saat itu yakni Nara Masista Rakhmatia.

Nara justru menuding protes negara-negara pasifik itu bermuatan politis untuk menyudutkan pemerintah Indonesia.

"Pernyataan mereka yang bermotif politik dirancang untuk mendukung kelompok separatis di provinsi tersebut, yang secara konsisten terlibat dalam memicu kekacauan publik dan dalam melakukan serangan teroris bersenjata," ujar Nara beretorika.

"Ini adalah pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah negara. Sangat disesalkan dan berbahaya bagi negara untuk menyalahgunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk majelis yang agung ini."

"Negara-negara ini menggunakan Sidang Umum untuk memajukan agenda domestik mereka, dan untuk beberapa negara untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik dan sosial di dalam negeri," katanya.

Wapres Jusuf Kalla saat berpidato singkat di sidang PBB, New York, AS. (Dok Setwapres).
Wapres Jusuf Kalla saat berpidato singkat di sidang PBB, New York, AS. (Dok Setwapres).

2018

Protes serupa kembali dilontarkan pada tahun 2018, dan pada tahun tersebut langusng dijawab oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai meminta Dewan Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Papua.

"Indonesia tidak akan membiarkan negara mana pun merusak keutuhan wilayahnya," jawab Wakil Presiden Indonesia Muhammad Jusuf Kalla, dikutip dari The Guardian.

"Seperti negara berdaulat lainnya, Indonesia akan dengan tegas mempertahankan keutuhan wilayahnya." tegas Wakil Presiden Jokowi pada saat itu.

Selain itu perwakilan Indonesia pada Sidang Umum PBB ke-73, Aloysius Selwas Taborat, juga memberikan hak jawab.

"Meskipun disamarkan dengan bunga-bunga keprihatinan hak asasi manusia, satu-satunya niat dan tindakan Vanuatu secara langsung menantang prinsip-prinsip hubungan persahabatan antar negara yang disepakati secara internasional, kedaulatan dan integritas teritorial," buka Aloysius Selwas Taborat.

Taborat mengatakan Vanuatu berulang kali mendukung gerakan separatis dan dia mempertanyakan perilakunya sebagai negara yang taat hukum internasional.

"Dukungan yang tidak dapat dimaafkan untuk individu separatis ini dengan jelas ditunjukkan oleh Vanuatu yang memasukkan sejumlah orang dengan catatan kriminal yang serius dan agenda separatis dalam delegasi mereka ke PBB." jelas Taborat.

2019

Delegasi Indonesia kembali menggunakan Hak Jawabnya atas pernyataan Vanuatu yang mempolitisasi masalah Papua pada Sidang Dewan HAM PBB ke-42 pada 17 September 2019.

Dikutip dari Antara News, hak tersebut digunakan untuk menanggapi pernyataan delegasi Vanuatu atas nama Vanuatu dan Solomon Islands, sesuai keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh Perwakilan Tetap RI di Jenewa.

Menanggapi isu HAM di Papua yang dikemukakan oleh Vanuatu, delegasi Indonesia menyoroti pesan positif dari beberapa pemimpin negara-negara Kepulauan Pasifik tentang pengakuan kedaulatan Indonesia atas Papua sebagaimana tertuang dalam Communiqué of the Pacific Island Forum (PIF).

"Rasisme dan diskriminasi tidak memiliki ruang dalam negara demokrasi pluralistik Indonesia. Sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, Indonesia akan terus menjamin kebebasan berekspresi dan unjuk rasa publik secara damai," tegas delegasi Indonesia.

Tangkapan layar diplomat yang bertugas di PTRI New York, Silvany Austin Pasaribu, mewakili Indonesia saat menyampaikan hak jawab di Sidang Umum PBB, Sabtu (26/9/2020). (ANTARA/Yashinta Difa)
Tangkapan layar diplomat yang bertugas di PTRI New York, Silvany Austin Pasaribu, mewakili Indonesia saat menyampaikan hak jawab di Sidang Umum PBB, Sabtu (26/9/2020). (ANTARA/Yashinta Difa)

2020

Vanuatu kembali dilayangkan pada tahun 2020 dan langsung dipatahkan oleh delegasi Indonesia.

Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa Vanuatu bukan perwakilan warga Papua, saat menyampaikan hak jawab atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilontarkan negara Pasifik itu terhadap Indonesia.

"Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya," kata Silvany Austin Pasaribu, diplomat muda yang mewakili Indonesia menggunakan hak jawab, di Sidang Umum PBB, Sabtu (26/9/2020).

Dalam rekaman video resmi PBB, Silvany menyebut Vanuatu memiliki obsesi yang berlebihan dan tidak sehat tentang bagaimana Indonesia harus bertindak atau memerintah negaranya sendiri.

Pasalnya, hampir setiap tahun dalam Sidang Umum PBB, Vanuatu selalu menyinggung isu dugaan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua---sebuah tuduhan yang dianggap Indonesia sengaja digaungkan untuk mendukung separatisme.

"Indonesia akan membela diri dari segala advokasi separatisme yang disampaikan dengan kedok kepedulian terhadap hak asasi manusia yang artifisial," kata Silvany sebagaimana dikutip dari Antara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI