Suara.com - Dunia ini memang senda gurau belaka, kata Febri Diansyah mengawali cerita pada 7 Agustus 2020. Hari itu atau sebulan sebelum menyatakan mundur dari lembaga Komisi Pemberantaasn Korupsi, Febri merefleksikan kembali mengenai bagaimana proses dia memahami dunia.
Dia melanjutkan, "Kalau begitu nggak usah serius-serius mengerjakan sesuatu di dunia ini? Toh main-main belaka."
Tapi bukan begitu maksud ucapan Febri mengenai: dunia ini memang senda gurau belaka.
Tentang memahami cerita “dunia,” dia mengaku belajar dari cerita pendek karya AA Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami.
Baca Juga: Sebelum Mundur, Febri Masuk ke Ruangan Pimpinan KPK, Curhat Apa?
Ketika membaca cerpen itu dulu, Febri mengakui proses konstruksi pemahaman tentang ibadah dan memahami “dunia” dengan segala senda guraunya menjadi lebih terbantu.
Suatu hari dia pernah menyebut “dunia ini senda gurau belaka” di depan seseorang. Seseorang itu, kata Febri, lantas menimpali, "jadi kamu juga anggap aku senda gurau belaka?"
Febri menjawab dengan bertanya balik, "apa kamu pikir seluruh yang kita lalui dan nanti hanya untuk dunia? Tidak."
Memahami kalimat “dunia ini senda gurau belaka” ternyata memang tidak bisa secara harfiah saja. Menurut Febri tidak bisa bersandar pada teks saja. Dia mengatakan mirip ketika Buya Hamka memaknai kata Zuhud. Kalau secara harfiah berarti: meninggalkan segala kehidupan dan kesenangan duniawi.
Akhirnya, kata Febri, memang tidak cukup menafsirkannya dengan meninggalkan hal-hal duniawi atau bahkan bilang “dunia secukupnya” saja.
Baca Juga: Febri Pilih Mundur dari KPK, Nawawi Kehilangan Teman Berdiskusi
"Saya ingat sebuah pesan, tetap jalani dan kerjakan saja sebaik-baiknya. Dengan pondasi niat yang sungguh. Soal hasil, rintangan, sakit atau senang adalah bagian “senda guraunya,” kata mantan aktivis Indonesia Corruption Watch.
Bagi Febri, intinya memang pada niat sungguh itu dan tanggung jawab di lingkungan sosial.
"Ya tentu bagaimana melaksanakan niat dengan sungguh-sungguh juga sangat penting."